Minggu, 07 November 2010

Islam Ditinjau Dari Aspek Filsafat

ISLAM DI TINJAU DARI ASPEK FILSAFAT
Oleh
Drs. Jasa Fadilah Ginting


A. Pendahuluan
Filsafat merupakan ilmu pengetahuan yang mempersoalkan hakikat dari segala yang ada. Kata falsafah secara harfiah berasal dari bahasa Arab, yang berasal dari bahasa Yunani philosophia yang berarti cinta kepada pengetahuan atau cinta kepada kebijaksanaan. Selain itu, filsafat dapat pula berarti mencari hakikat sesuatu, berusaha memautkan sebab dan akibat serta berusaha menafsirkan pengalaman – pengalaman manusia. Dalam kamus Umum bahasa Indonesia, Poerwadarminta mengartikan filsafat sebagai pengetahuan dan penyelidikan dengan akal budi mengenai sebab – sebab, asas – asas, hukum dan sebagainya terhadap segala yang ada di alam semesta ataupun mengenai kebenaran dan arti “adanya” sesuatu. Pengertian filsafat secara umum yang digunakan adalah pendapat yang dikemukakan Sidi Ghazalba. Menurutnya, filsafat adalah berfikir secara mendalam, sistematik, radikal dan universal dalam rangka mencari kebenaran, inti, hikmah atau hakikat mengenai segala sesuatu yang ada. Orang yang cinta kepada pengetahuan atau kebijaksanaan disebut philosophos atau dalam bahasa arab failosuf ( filosof).
Dari defenisi tersebut, dapat diketahui bahwa filsafat pada intinya berupaya menjelaskan inti, hakikat, atau hikmah mengenai sesuatu yang berada di balik objek formanya. Filsafat mencari sesuatu yang mendasar, asas dan inti, hakikat, atau hikmah mengenai sesuatu yang berada di balik proyek formanya. Filsafat mencari sesuatu yang mendasar, asas dan inti yang terdapat di balik yang bersifat lahiriah. Sebagai contoh, kita jumpai berbagai merk bolpoin dengan kualitas dan harga berlainan, namun intinya sama, yaitu sebagai alat tulis. Ketika disebut alat tulis, tercakuplah semua nama dan jenis bolpoin. Contoh lain, kita jumpai berbagai bentuk rumah dengan kualitas yang berbeda, tetapi intinya adalah sebagai tempat tinggal. Kegiatan berpikir untuk menemukan hakikat itu dilakukan secara mendalam. Lous O.Kattsof mengatakan bahwa kegiatan kefilsafatan ialah merenung. Akan tetapi, merenung bukanlah melamun, juga bukan berfikir secara kebetulan yang bersifat untung – untungan, melainkan dilakukan secara mendalam, radikal, sistematis, dan universal. Mendalam artinya dilakukan sedemikian rupa sehingga dicari sampai batas bahwa akal tidak sanggup lagi. Radikal artinya sampai keakar – akarnya sehingga tidak ada lagi yang tersisa, sistematis maksudnya adalah dilakukan secara teratur dengan menggunakan metode berfikir tertentu, dan universal maksudnya tidak dibatasi hanya pada suatu kepentingan kelompok tertentu, tetapi untuk seluruhnya.

B. Islam di tinjau dari aspek Filsafat

Berfikir secara filosofis selanjutnya dapat digunakan dalam memenuhi ajaran agama, dengan maksud agar hikmah, hakikat, atau inti dari ajaran agama dapat dimengerti dan dipahami secara seksama. Pendekatan filosofis sebenarnya sudah banyak dilakukan oleh para ahli. Buku berjudul Hikmah At-Tasyri’ wa Falsafatuhu yang ditulis oleh Muhammad Al-uirjawi berupa mengungkapkan hikmah yang terdapat di balik ajaran-ajaran agama Islam. Ajaran Islam misalnya mengajarkan seseorang agar melaksanakan shalat berjama’ah. Tujuannya antara lain agar seseorang merasakan hikmah hidup secara berdampingan dengan orang lain. Dengan mengerjakan puasa misalnya, seseorang dapat merasakan lapar yang selanjutnya menimbulkan rasa iba dengan sesamanya yang hidup serba kekurangan. Demikian pula, ibadah haji yang dilaksanakan di kota Mekah, dalam waktu yang bersamaan, dengan bentuk dan gerak ibadah (manasik) yang sama dengan yang dikerjakan lainnya dimaksudkan agar orang yang mengerjakan berpandangan luas, merasakan bersaudara dengan sesame muslim dari seluruh dunia. Thawaf yang dikerjakan mengandung makna bahwa hidup harus tertuju sebagai ibadah kepada Allah semata. Mengerjakan sa’i, yakni lari – lari kecil menggambarkan bahwa hidup tidak boleh putus asa, terus mencoba. Dimulai dari Bukit Shafa yang artinya bersih dan berakhir pada Bukit Marwa yang artinya berkembang. Dengan demikian, hidup ini harus diisi dengan perjuangan yang didasarkan pada tujuan dan niat yang bersih sehingga dapat memperoleh keberkahan. Sementara itu, wukuf di Arafah maksudnya adalah saling mengenal sesama saudaranya dari berbagai belahan dunia. Demikian pula, melontarkan jamarat dimaksudkan agar seseorang dapat membuang sifat – sifat negatif yang ada dalam dirinya untuk diganti dengan sifat-sifat positif dan mengenakan pakaian serba putih maksudnya agar seseorang mengutamakan kesederhanaan, kesahajaan, dan serba bersih jiwanya sehingga tidak mengganggu hubungannya dengan Tuhan.
Demikian pula, kita membaca sejarah kehidupan para nabi terdahulu, maksudnya bukan sekedar menjadi tontonan atau sekedar mengenalnya. Akan tetapi, bersamaan dengan itu, perlu ada kemampuan menangkap makna filosofis yang terkandung di belakang peristiwa tersebut. Kisah nabi Yusuf as yang digoda seorang perempuan bangsawan, secara lahiriah menggambarkan kisah yang bertema pornografi atau kecabulan. Kesimpulan itu terjadi manakala seseorang hanya memahami bentuk lahiriah dari kisah tersebut. Akan tetapi, sebenarnya melalui kisah tersebut, Tuhan ingin mengajarkan kepada manusia agar memiliki ketampanan lahiriah dan bathiniah secara prima. Nabi Yusuf as telah menunjukkan kesanggupannya dengan mengendalikan farjinya dari berbuat maksiat. Sementara secara lahiriah, ia tampan dan menyenangkan orang yang melihatnya. Makna demikian dapat dijumpai melalui pendekatan yang dapat bersifata filosofis. Dengan menggunakan pendekatan filosofis ini, seseorang dapat member makna terhadap sesuatu yang dijumpainya dan dapat pula menangkap hikmah dan ajaran yang terkandung di dalamnya. Dengan cara demikian, ketika seseorang mengerjakan suatu amal ibadah, ia tidak akan merasakan kekeringan spiritual yang dapat menimbulkan kebosanan. Semakin mampu menggali makna filosofis dari suatu ajaran agama, maka semakin meningkat pula sikap, penghayatan, dan daya spritualitas yang dimiliki seseorang.
Pendekatan filosofis ini begitu penting dalam dunia pengetahuan, hal ini dapat kita jumpai bahwa filsafat telah digunakan untuk memahami berbagai bidang lain selain agama. Misalnya filsafat pendidikan, filsafat hokum Islam, filsafat kebudayaan, filsafat ekonomi, dan lain – lain.
Melalui pendekatan filosofis ini, seseorang tidak akan terjebak pada pengamalan agama formalistik, yakni mengamalkan agama dengan susah payah, tetapi tidak memiliki makna apa – apa, kosong tanpa arti. Yang mereka dapatkan dari pengalaman agama tersebut hanyalah pengakuan formalistik. Misalnya sudah haji, sudah menunaikan rukun Islam yang kelima dan berhenti sampai di situ. Mereka tidak dapat merasakan nilai-nilai spiritual yang terkandung di dalamnya.
Namun demikian, pendekatan filosofis ini tidak berarti menafikan atau menyepelekan bentuk pengalaman agama yang bersifat formal. Filsafat mempelajari segi bathin yang bersifat esotrik. Bentuk atau kulit itulah yang disebut aspek esotrik dan agama-agama dan manifestasinya dalam dunia ini menjadi religious sedangkan kebenaran yang bersifat absolut, universal, dan metahistoris adalah Religion, dan pada titik Religion inilah, titik persamaan yang sungguh-sungguh akan dicapai.
Tampak pandangan filsafat yang bercorak perenialis secara metologis memberikan harapan segar terhadap dialog antara umat beragama. Sebab melalui metode ini sesame umat beragama diharapkan menemukan transcendent unity or religion, dan dapat mendiskusikan secara lebih mendalam. Dengan demikian, terbukalah kebenaran yang hakiki. Lalu tersingkirlah kesesatan yang betul-betul sesat, meskipun tetap dalam lingkup langit kerelatifan. Dalam kedua kebenaran dan kesesatan mungkin saja terjadi pada sikap kita atau suatu kelompok tertentu yang seakan berada di posisi paling atas sehingga mengklaim yang lain sebagai berada di bawah.
Pendekatan filosofis yang bercorak perennialis ini, walaupun secara teoritis memberikan harapan dan kesejukan, belum secara luas dipahami dan diterima, kecuali oleh sekelompok kecil saja. Menurut Nasr, mengapa hanya oleh segelintir orang? Jawabannya dapat dicari dalam hakikat filsafat perennial itu sendiri. Untuk mengikuti aliran ini, seorang sarjana tidak cukup mengabdikan pikiran saja, melainkan seluruh kehidupannya. Ia menuntut suatu penghayatan total, bukan hanya sebatas studi akademis terhadap persoalan agama. Bagi aliran ini, studi agama adalah aktivitas keagamaan itu sendiri, dan mempunyai makna keagamaan. Semua studi agama hanya bermakna kalau ia memiliki makna keagamaan.
Islam sebagai agama yang banyak menyuruh penganutnya mempergunakan akal pikiran sudah dapat dipastikan sangat memerlukan pendekatan filosofis dalam memahami ajaran agamanya, yang contoh-contohnya telah dikemukakan diatas. Namun demikian, pendekatan seperti ini masih belum diterima terutama oleh kaum tradisionalis formalistis yang cenderung memahami agama terbatas pada ketepatan melaksanakan aturan-aturan formalistik dari pengalaman agama.


1. Tinjauan Al Qur’an tentang Filsafat.
Al-Qur’an sejak semula telah memerintahkan umat manusia untuk menggunakan akalnya, khususnya untuk menyingkap rahasia alam semesta yang akan menghantarkan manusia kepada keyakinan tentang adanya Tuhan yang menciptakan dan memeliharanya. Keyakinan kepada adanya Tuhan harus didasarkan atas kesadaran akal, bukan sekedar keasadaran yang bersifat teradisional yakni melestarikan warisan nenek moyang betapapun corak dan konsepnya.
Siapa saja yang meneliti sejarah Islam dengan berbagai sumber dari Al-Qur’an dan Sunnah, qiyas syar’I, Ijma’ yang diakui, ijtihad dan tafsir yang benar yang dibuat ulama-ulama kita yang saleh sepanjang zaman, akan terdapat pada setiap hal itu akan membentuk fikiran yang menyeluruh dan berpadu tentang alam jagat, manusia, masyarakat dan bangsa, pengetahuan kemanusiaan, dan akhlak. Mungkin tidak dapat hal itu membentuknya sifat universal dan berpadui ini jika dicarinya pada falsafah-falsafah ciptaan manusia, baik yang lama atau baru. Selain itu orang yang mengkaji tentang Islam pada berbagai sumbernya dengan kesadaran dan mendalam akan keluar dengan pikiran universal dan berpadu tentang falsafah wujud, falsafah pengetahuan, dan falsafah nilai-nilai.
Akal adalah potensi luar biasa yang dianugerahkan Allah kepada manusia, karena dengan akalnya manusia memperoleh pengetahuan tentang berbagai hal. Sangat banyak ayat Al-Qur’an yang memerintahkan manusia menggunakan akalnya untuk berpikir. Memikirkan alam semesta, memikirkan diri sendiri, memikirkan pranata atau lembaga-lembaga social, dan lain sebagainya dengan tujuan agar perjalanan hidup di dunia dapat ditempuh setepat-tepatnya sesuai dengan kedudukan manusia sebagai makhluk ciptaan Allah yang akan kembali kepadaNya serta memetik hasil tanaman amal perbuatannya sendiri di dunia baik sebagai abdi maupun sebagai khalifah-Nya di bumi.
Beberapa contoh ayat Al-Qur’an yang memerintahkan manusia berpikir tentang alam, diri sendiri, umat terdahulu dan pranata social.
a. Berpikir tentang alam.
Dalam surat Ali Imran (3) ayat 190, Allah berfirman:
       •    
190. Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, dan silih bergantinya malam dan siang terdapat tanda-tanda bagi orang-orang yang berakal,

b. Berpikir tentang diri sendiri.
Dalam surat Ar-Rum(30) ayat 8 , Allah berfirman:
     •            •   ••    
8. Dan Mengapa mereka tidak memikirkan tentang (kejadian) diri mereka? Allah tidak menjadikan langit dan bumi dan apa yang ada diantara keduanya melainkan dengan (tujuan) yang benar dan waktu yang ditentukan. dan Sesungguhnya kebanyakan di antara manusia benar-benar ingkar akan pertemuan dengan Tuhannya.

c. Berpikir tentang umat terdahulu.
Dalam surat Al Mukmin/Al Ghafir (40) ayat 21, Allah berfirman:
                                
21. Dan apakah mereka tidak mengadakan perjalanan di muka bumi, lalu memperhatikan betapa kesudahan orang-orang yang sebelum mereka. mereka itu adalah lebih hebat kekuatannya daripada mereka dan (lebih banyak) bekas-bekas mereka di muka bumi[1319], Maka Allah mengazab mereka disebabkan dosa-dosa mereka. dan mereka tidak mempunyai seorang pelindung dari azab Allah.

[1319] Maksudnya: bangunan, alat perlengkapan, benteng-benteng dan istana-istana.

d. Berpikir tentang pranata (lembaga).
Dalam surat Ar-Rum(30) ayat 21, Allah berfirman:
            ••   •      
21. Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah dia menciptakan untukmu isteri-isteri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya diantaramu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berfikir.

2. Filosof – filosof muslim.
Adapun nama – nama filosof muslim yang terkenal adalah sebagai berikut:
a. Al Kindi merupakan filosof muslim pertama pada pertengahan abad IX M / abad III H.
b. Al Farabi, Ibnu Sina, menulis dalam "al-Isharat" bahwa, "Filsafat latihan intelek, memungkinkan manusia untuk mengetahui Menjadi seperti yang dalam dirinya sendiri. Ini merupakan kewajiban manusia untuk melakukan hal ini dengan latihan intelek nya, sehingga ia dapat memuliakan jiwanya dan membuatnya sempurna, dan mungkin menjadi ilmuwan rasional, dan mendapatkan kapasitas kebahagiaan abadi di akhirat." Pada zaman inilah merupakan puncak kejayaan filsafat Islam.
c. Ibnu Rusyd, sekitar abad ke XII M. pada masa ini terjadi polemic antara Ibunu Rusyd dengan Al Ghazali, perhatian orang terhadap filsafat makin berkurang di kalangan sunni.
d. Mulla Sadra seorang filosof yang lahir dari kalangan syiah pada 1640 M/1050H.

C. PENUTUP.
Dari uraian diatas dapat disimpulkan bahwa :
1. Pengertian filsafat adalah berfikir secara mendalam, sistematik, radikal dan universal dalam rangka mencari kebenaran, inti, hikmah atau hakikat mengenai segala sesuatu yang ada.
2. Islam di tinjau dari aspek Filsafat, menyangkut tentang pendalaman secara mendalam, sistematik, radikal untuk mencari kebenaran ajaran Islam yang berkaitan dengan rukun Islam, Rukun Iman, serta hubungan antara ma.nusia dengan Allah, Manusia dan alam sekitarnya.
3. Tokoh tokoh yang membahas ilmu filsafat yang dikaitkan dengan ajaran Islam yang bersumber pada Al-Qur’an dan Hadits. Adapun filosof yang terkenalm di dunia Islam adalah Al Faraby, Ibnu Rusydi, Ibnu Sina, dan terakhir yaitu Mulia Sadra.
Demikian makalah ini semoga dapat bermanfaat bagi kita dalam mempelajari Ilmu pengetahuan melalui Mata Kuliah Metode Studi Islam.



DAFTAR PUSTAKA


Abuddin Nata,MA,Dr.Prof.H,Metodologi Studi Islam,Edisi Rev Rivisi, Rajawali Press, Jakarta, 2010.
Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahannya, Dipenogoro, 2007.
Dewan Redaksi Ensiklopedi Islam, Ensiklopedi Islam, Ichtiar Baru van Hoeve, Jakarta, 2001.

Louis O.Kattsof, Pengantar Filsafat, terj. Soejono Soemargono, dari judul asli Element of Philosophy, Tiara Wacana, Yokyakarta, 1989.

Mohammad Daud Ali, SH,H,Prof, Pendidikan Agama Islam, Rajawali Pers, 2008.
Omar Mohammad Al-Toumy Al-Syaibany, Prof.Dr, Falsafah Pendidikan Islam, Bulan Bintang, 1983.

Rosihan Anwar, dkk, Pengantar Studi Islam, Pustaka Setia, Bandung, 2009.

Sidi Gazalba, Sistematika Filsafat, Jilid I, Bulan Bintang, Jakarta, 1976

Tidak ada komentar:

Posting Komentar