Selasa, 10 November 2015



EKSISTENSI ADAT ISTIADAT KARO DALAM PEMBENTUKAN MASYARAKAT  MULTIKULTURAL DI KABUPATEN KARO
PROVINSI SUMATERA UTARA
Oleh
 JASA FADILAH GINTING

A.      Pendahuluan
Indonesia adalah salah satu negara multikultural terbesar di dunia. Kenyataan ini dapat dilihat dari kondisi sosio-kultural maupun geografis yang begitu beragam dan luas. Keragaman ini diakui atau tidak akan dapat menimbulkan berbagai persoalan, seperti korupsi, kolusi, nepotisme, kemiskinan, kekerasan, perusakan lingkungan, separatisme, dan hilangnya rasa kemanusiaan untuk menghormati hak-hak orang lain, merupakan bentuk nyata sebagai bagian dari multikulturalisme tersebut.
Berdasarkan permasalahan di atas, maka diperlukan strategi khusus untuk memecahkan persoalan tersebut melalui berbagai bidang; sosial, ekonomi, budaya, dan pendidikan. Berkaitan dengan hal ini, maka pendidikan multikultural menawarkan satu alternatif melalui penerapan strategi dan konsep pendidikan yang berbasis pada pemanfaatan keragaman yang ada di masyarakat, khususnya yang ada pada siswa seperti keragaman etnis, budaya, bahasa, agama, status sosial, gender, kemampuan, umur, dll. Karena itulah yang terpenting dalam pendidikan multikultural adalah seorang guru tidak hanya dituntut untuk menguasai dan mampu secara profesional mengajarkan mata pelajaran diajarkan. Lebih dari itu, seorang pendidik juga harus mampu menanamkan nilai-nilai inti dari pendidikan multikultural seperti demokrasi, humanisme, dan pluralisme atau menanamkan nilai-nilai keberagamaan yang inklusif pada siswa. Pada gilirannya, out-put yang dihasilkan dari sekolah/universitas tidak hanya cakap sesuai dengan disiplin ilmu yang ditekuninya, tetapi juga mampu menerapkan nilai-nilai keberagamaan dalam memahami dan menghargai keberadaan para pemeluk agama dan kepercayaan lain.
Bila kita mencermati berbagai kasus terjadinya konflik keagamaan akhir-akhir ini, salah satu faktor penyebabnya adalah adanya paradigma keberagamaan masyarakat yang bersifat eksklusif. Karena itu, diperlukan langkah-langkah preventif untuk mencegah berkembangnya paradigma tersebut, yaitu dengan membangun pemahaman keberagamaan yang lebih inklusif-pluralis, multikultural, humanis, dialogis-persuasif, kontekstual melalui pendidikan, media massa, dan interaksi sosial.
Bagaimana membangun pemahaman keberagamaan siswa yang inklusisf di sekolah? Dalam hal ini, guru mempunyai posisi penting dalam mengimplementasikan nilai-nilai keberagamaan inklusif di sekolah. Adapun peran guru di sini, meliputi; pertama, seorang guru harus mampu bersikap demokratis, baik dalam sikap maupun perkataannya tidak diskriminatif. Kedua, guru seharusnya mempunyai kepedulian yang tinggi terhadap kejadian-kejadian tertentu yang ada hubungannya dengan agama. Misalnya, ketika terjadi bom Bali (2003), maka seorang guru yang berwawasan multikultural harus mampu menjelaskan keprihatinannya terhadap peristiwa tersebut. Ketiga, guru seharusnya menjelaskan bahwa inti dari ajaran agama adalah menciptakan kedamaian dan kesejahteraan bagi seluruh ummat manusia, maka pemboman, invasi militer, dan segala bentuk kekerasan adalah sesuatu yang dilarang oleh agama. Keempat, guru mampu memberikan pemahaman tentang pentingnya dialog dan musyawarah dalam menyelesaikan berbagai permasalahan yang berkaitan dengan keragaman budaya, etnis, dan agama.
Dalam kajian ini penulis mengangkat tentang multicultural di tengah tengah masyarakat yang berdomisi di daerah Berastagi Kab. Karo Sumatera Utara.
B.       Adat Istiadat Karo
1.    Marga Marga Karo
Suku Karo memiliki sistem kemasyarakatan atau adat yang dikenal dengan nama merga silima, tutur siwaluh, dan rakut sitelu. Masyarakat Karo mempunyai sistem marga (klan). Marga atau dalam bahasa Karo disebut merga tersebut disebut untuk laki-laki, sedangkan untuk perempuan yang disebut beru. Merga atau beru ini disandang di belakang nama seseorang. Merga dalam masyarakat Karo terdiri dari lima kelompok, yang disebut dengan merga silima, yang berarti marga yang lima. Kelima merga tersebut adalah:
a.         Karo – Karo.
b.        Tarigan.
c.         Ginting
d.        Sembiring
e.         Perangin – angin.
Kelima merga ini masih mempunyai submerga masing-masing. Setiap orang Karo mempunyai salah satu dari merga tersebut. Merga diperoleh secara otomatis dari ayah. Merga ayah juga merga anak. Orang yang mempunyai merga atau beru yang sama, dianggap bersaudara dalam arti mempunyai nenek moyang yang sama. Kalau laki-laki bermarga sama, maka mereka disebut ersenina, demikian juga antara perempuan dengan perempuan yang mempunyai beru sama, maka mereka disebut jugaersenina. Namun antara seorang laki-laki dengan perempuan yang bermerga sama, mereka disebut erturang, sehingga dilarang melakukan perkawinan, kecuali pada merga Sembiring dan Peranginangin ada yang dapat menikah diantara mereka.
Bahasa Batak Karo adalah bentuk bahasa Austronesia Barat yang digunakan di daerah Pulau Sumatera sebelah utara pada wilayah Kepulauan Indonesia.[1] Istilah “Batak” sendiri mengacu pada sekumpulan kelompok yang memiliki kaitan secara kultural yang mendiami sebagian besar wilayah pedalaman Provinsi Sumatera Utara yang berpusat di daerah Danau Toba.[2] Tiap-tiap kelompok ini memiliki riwayat, tatanan sosial, serta bahasa yang khas satu sama lain.
Masyarakat Batak Karo sendiri bermukin di wilayah sebelah barat laut Danau Toba yang mencakup luas wilayah sekitar 5.000 kilometer persegi yang secara astronomis terletak sekitar antara 3′ dan 3’30″ lintang utara serta 98′ dan 98’30″ bujur timur. Wilayah Tanah Karo tersusun atas dua wilayah utama sebagai berikut:
Dataran tinggi Tanah Karo, yang mencakup seluruh wilayah Kabupaen Karo dan pusat administratifnya di kota Kabanjahe. Wilayah dataran tinggi Tanah Karo ini menjorok ke selatan hingga masuk ke wilayah Kabupaten Dairi (khususnya Kecamatan Taneh Pinem dan Tiga Lingga), serta ke arah timur masuk ke bagian wilayah Kecamatan Si Lima Kuta yang terletak di Kabupaten Simalungun. Masyarakat Karo menyebut wilayah pemukiman dataran tinggi ini dengan nama Karo Gugung.
Dataran rendah Tanah Karo yang mencakup wilayah-wilayah kecamatan dari Kabupaten Langkat dan Kabupaten Deli Serdang yang terletak pada bagian ujung selatan secara geografis ( namun tertinggi secara topografis). Wilayah ini dimulai dari plato Tanah Karo yang membentang ke bawah hingga mencapai sekitar kampung-kampung Bahorok, Namo Ukur, Pancur Batu, dan Namo Rambe yang ada di sebelah utara, serta Bangun Purba, Tiga Juhar, dan Gunung Meriah di sisi timur. Masyarakat Karo menyebut daerah ini dengan nama Karo Jahe (Karo Hilir).
Wilayah dataran tinggi Tanah Karo dianggap sebagai pusat kebudayaan dan tanah asli nenek moyang masyarakat Batak Karo. Di wilayah ini, bahasa tidak banyak tersentuh oleh pengaruh-pengaruh luar dan ikatan kekerabatan serta kehidupan tradisional masih terpelihara sangat kuat. Kebanyakan masyarakat dataran tinggi Karo hidup dari bercocok tanam kecil-kecil dengan menanam padi dan sayur-sayuran untuk konsumsi sehari-hari serta berbagai tanam-tanaman komersial untuk kebutuhan pasar domestik dan ekspor.
Wilayah pemukinan dataran rendah yang ada di Kabupaten Langkat dan Kabupaten Deli Serdang umumnya lebih terorientasi pada produksi tanam-tanaman budidaya seperti karet dan kelapa sawit. Wilayah dataran rendah Karo ini lebih banyak menyerap pengaruh masyarakat Melayu pesisir yang pada umumnya menganut agama Islam dan terkadang mengharuskan mereka menyisihkan nama marga mereka sehingga hubungan kekerabatan dengan sanak-saudara mereka di dataran tinggi jadi terputus.
Selain kefasihan dalam berbahasa Karo, ciri identitas terpenting seorang Karo dapat diketahui dari nama marga yang bersangkutan. Orang-orang Karo memiliki lima macam klan patrilineal atau marga, yaitu Karo-karo, Ginting, Tarigan, Sembiring, dan Peranginangin. Tiap-tiap marga ini terpecah lagi menjadi 13 hingga 18 submarga, sehingga secara keseluruhan dapat dijumpai sbanyak 83 submarga[3]. Seluruh marga dan submarga ini merupakan nama-nama khas yang ada pada masyarakat Karo, namu sering juga tampak memiliki keterkaitan dengan nama-nama marga dari kelompok masyarakat suku-suku Batak lain, khususnya masyarakat Batak Simalungun dan Batak Pakpak. Identitas dan subetnis orang Batak ini pada umumnya dapat langsung diketahui dari nama marganya, misal marga Tarigan dan Sembiring adalah marga khas Batak Karo,  nama Saragih dan Damanik adalah marga khas Batak Simalungun, nama Bancin dan Berutu adalah marga khas Batak Pakpak, dan sebagainya. Dalam hal ini terdapat juga nama-nama marag yang sama dari asal subetnis Batak lain, maka nama-nama tertentu semacam ini biasanya selalu disebutkan berikut dengan subetnisnya pada saat memperkenalkan diri dengan anggota subentis Batak lain, misalnya “Saya Purba Karo” atau “Saya Purba Simalungun”. Seseorang yang berasal dari luar masyarakat Karo yang hendak bergabung ke dalam masyarakat Karo juga diberikan nama marga patrilineal atau matrilineal Karo karena tanpa memiliki acuan identitas sosial semacam ini yang bersangkutan mustahil berinteraksi dalam acara-acara penting di luar batas kegiatan sehari-hari.
Istilah “Batak” umumnya tidak digunakan pada saat mereka saling memperkenalkan diri satu sama lain kecuali jika mereka sedang memperkenalkan diri mereka dengan orang-orang dari etnis lain (Sunda, Jawa, dll). Di kalangan masyarakat mereka maupun subetnis Batak lain biasanya mereka menyebut diri mereka sendiri sebagai “kalak Karo” atau orang Karo. Sedangkan bahasa asli Karo mereka sebut sebagai “cakap Karo” atau “bahasa Karo“.  Berbeda halnya dengan kaum masyarakat Batak Pakpak dan Batak Simalungun yang bertetangga dengan mereka, masyarakat Karo belum begitu banyak terpengaruh oleh bahasa dan budaya masyarakat Batak Toba. Selain dari kaum anak-anak dan kaum usia lanjut, orang-orang Karo umumnya juga mempergunakan bahasa Indonesia sebagai bahasa resmi di Indonesia.
2.      Daliken sitelu
Teori yang dipergunakan adalah teori pengendalian sosial dan nilai budaya yang dominan didalam daliken si telu.
Pengendalian sosial adalah suatu proses, baik yang direncanakan atau tidak direncanakan yang bertujuan untuk mengajak, membimbing atau bahkan memaksa warga masyarakat agar mematuhi nilai-nilai dan kaidah-kaidah yang berlaku. Pada prinsipnya pengendalian sosial terjadi apabila suatu kelompok menentukan tingkah laku kelompok lain, apabila kelompok mengendalikan prilaku kelompoknya, atau kalau pribadi-pribadi mempengaruhi tingkah laku pihak lain, baik apabila hal itu sesuai dengan kehendaknya atau tidak. Maka pengendalian sosial adalah suatu sarana yang ada dalam masyarakat untuk mempengaruhi, untuk mengkontrol semua tingkah laku warganya ketika akan bersosialisasi. Melalui sosialisasi ini, setiap warga masyarakat akan dituntun kearah sikap tunduk dan patuh pada norma-norma, nilai-nilai budaya, aturan yang ada atau yang dikehendaki oleh masyarakat. Tujuan pengendalian sosial terutama untuk mencapai keserasian antara stabilitas dengan perubahan-perubahan yang terjadi dalam masyarakat, dan untuk mencapai keadaan damai melalui keserasian antara kepastian dengan keadilan/keseimbangan.
Daliken si telu adalah bagian dari masyarakat Karo yang merupakan landasan bagi sistem kekerabatan dan semua kegiatan khususnya kegiatan yang bertalian dengan pelaksanaan adat-istiadat dan interaksi antar pada Masyarakat Karo. Daliken si telu ini didukung oleh tiga aktor yang dikenal dengan kalimbubu, sembuyak/senina, dan anak beru. Hal ini maka setiap individu Karo terikat kepada daliken si telu. Melalui daliken si telu masyarakat Karo saling berkerabat, baik berkerabat karena hubungan darah (seketurunan), maupun berkerabat karena hubungan perkawinan. Adapun nilai-nilai yang dominan yang terdapat didalam daliken si telu adalah nilai gotong royong dan kekerabatan.
Seperti telah dikemukakan bahwa pengendalian sosial terjadi apabila suatu kelompok menentukan tingkah laku kelompok lain, kelompok mengendalikan prilaku anggotanya, atau kalau pribadi-pribadi mempengaruhi tingkah laku pihak lain. Dengan kata lain, pengendalian terjadi apabila seseorang diajak atau dipaksa untuk bertingkah laku sesuai dengan keinginan pihak lain, baik apabila hal itu sesuai dengan kehendaknya maupun tidak, dan pengendalian sosial juga merupakan suatu kekuatan untuk mengorganisir tingkah laku sosial budaya, sehingga pengendalian sosial mempunyai kekuatan yang membimbing manusia. Sedangkan adat istiadat tumbuh dan berkembang berdasarkan kebutuhan masyarakat yang nyata, yang berisi norma-norma yang telah berlaku sepanjang masa walau pun sama sekali tidak mempunyai alat memaksa seperti hukum, norma-norma tetap diwariskan secara turun temurun sehingga merupakan sesuatu yang harus dipatuhi, ketika menyelenggarakan kepentingan bersama. Adat istiadat mengandung makna hukum yang memiliki fungsi pengatur, penertib dan pengaman kehidupan masyarakat, juga sebagai penggerak dan pendorong pembangunan, dan perubahan menuju masyarakat yang dicita-citakan.
Dalam hal ini hubungan daliken si telu dengan pengendalian sosial jelas. Didalam “tubuh” daliken si telu ada dua unsur, pertama adalah sistem sosial yang bersifat terbuka yaitu kalimbubu, sembuyak/senina, dan anak beru. Seseorang berkedudukan sebagai kalimbubu bargantung kepada situasi dan kondisi, demikian sebaliknya. Ini berhubungan dengan manusia sebagai subjek dan objek. Unsur kedua adalah psiko budaya, ini berhubungan dengan nilai, nilai ini berfungsi sebagai alat untuk mengendalikan, untuk mengikat aktor yang tiga tersebut dalam jaringan kekerabatan. Jadi, memahami hubungan daliken si telu melalui pendekatan pengendalian sosial adalah memahami bagaimana caraberpikir dan cara bertindak aktor yang tiga (kalimbubu, sembuyak/senina, dan anak beru), baik secara kelompok (kalimbubu, sembuyak/senina, anak beru), maupun secara pribadi, berdasarkan nilai kekerabatan, kebersamaan dan gotong royong yang dilandasi nilai kasih sayang, untuk mengajak, mengarahkan, membina, membimbing atu bahkan memaksa warga masyarakat Karo agar mau mematuhi nilai-nilai dan kaidah-kaidah adat istiadat karo.
Hasil yang ditemukan menunjukkan bahwa daliken si telu sebagai bagian dari budaya Karo, tetap berperan penting. Bahkan bila muncul masalah-masalah sosial didalam keluarga masyarakat Karo, masalah itu baru dikatakan tuntas, selesai, dan sah, bila daliken si telu pihak bermasalah ikut berpartisipasi menyelesaikannya. Jalan keluar yang ditawarkan daliken si telu bervariasi, bergantung kepada masalah yang muncul. Sebagai contoh misalnya masalah penyimpangan dalam perkawinan, bila salah seorang calon pengantin bukan berasal dari etnis Karo, pihak daliken si telu calon pengantin yang beretnis Karo, selalu menyarankan agar calon pengantin etnis non Karo tersebut disyahkan menjadi “orang Karo” yaitu diberikan klen (merga/beru), dan sekaligus diberikan orang tua adatnya. Peranan orang tua adat dalam bidang-bidang tertentu (diluar adat istiadat karo) sama dengan orang tua kandungnya, tetapi dalam bidang-bidang tertentu (didalam adat istiadat karo) jelas jauh melebihi orang tua kandungnya yang bukan berasal dari etnis karo. Pemberian klen ini bukan bertujuan untuk mengkaronisasikan etnis non karo yang ingin berjodoh dengan etnis Karo, tetapi bertujuan agar mekanisme daliken si telu tetap berfungsi semestinya, dengan demikian hubungan kekerabatan dengan keluarga pihak impal (calon suami atau istri menurut adat istiadat karo) dari etnis karo yang kebetulan menikah dengan non karo tetap terjalin erat. Keuntungan lain adalah, bila muncul masalah-masalah sosial dalam keluarga pembauran ini, dia dapat memilih mau diselesaikan berdasarkan jalur hukum negara yang berlaku boleh, diselesaikan sesuai dengan hukum adat karo juga boleh. Kepada yang bermasalah tinggal memilih, jalur mana yang hendak dipergunakan. Keuntungan lain dengan pemberian klen ini, khususnya bila calon pengantin itu wanita, bila kelak suaminya meninggal dunia, dia berhak mewarisi tanah adat yang ada dimiliki suaminya. Keuntungan lain adalah kedudukan orang yang diberi klen (marga/beru) menjadi jelas dalam struktur adat Karo. Anak-anak yang dilahirkan dari keluarga pembaruan ini, kedudukannya sama didalam adat dengan keluarga yang kedua orang tuanya sama-sama satu etnis. Berhak mendapat pelayanan berdasarkan adat istiadat karo. Sedangkan kerugiannya (a). bagi wanita non karo yang menikah dengan pria karo, si wanita tidak mempunyai beru, maka keluarganya tidak mempunyai kalimbubu sierkimbang, dan anaknya tidak mempunyai kalimbubu daerah berdasarkan konsep daliken si telu, karena anak-anaknya yang dilahirkan tidak mempunyai kalimbubu daerah, dia tidak berhak mendapatkan harta warisanadat hal ini karena pembagian harta warisan ada melibatkan pihak daliken si telu. Bila ada acara-acara adat Karo, tidak ada yang mengosei (meminjamkan dan memakaikan pakaian adat) kepada suaminya. Bila timbul sengketa didalam keluarga yang mereka bina, tidak dapat diselesaikan menurut adat istiadat (Karo). Bila ada acara-acara adat, si istri (wanita) menjadi canggung karena tidak mengetahui dimana posisinya dalam acara adat tersebut, kalaupun tahu posisinya, tetap tidak sah menurut adat istiadat Karo. Kalau si istri meninggal dunia, dia tidak berhak dimakamkan dipekuburan keluarga suaminya, demikian pula anak-anak yang dilahirkannya. Si istri tidak berhak mengelola harta warisan marga suaminya, demikian pula dengan anak-anak yang dilahirkannya walaupun mereka memiliki anak laki-laki. Kerugian bagi anak kandungnya, anak kandungnya tidak mempunyai marga/beru dalam struktur adat Karo, si anak tidak memiliki struktur yang lengkap menurut adat karo, apakah sebagai kalimbubu, anak beru, senina/sembuyak. (b). bagi pria non karo yang menikah dengan wanita karo, bila timbul sengketa dalam rumah tangga mereka, tidak dapat diselesaikan menurut adat istiadat Karo, bila ada acara-acara adat dalam keluarga istrinya si suami akan menjadi canggung karena tidak mengetahui posisinya dalam acara adat tersebut, kalaupun tahu posisinya, tetap tidak sah menurut adat istiadat karo, si pria tidak mempunyai klen (marga), maka keluarga yang mereka bina tidak mempunyai anak beru berdasarkan daliken si telu. Demikian pula dengan anak-anak yang mereka lahirkan tidak mempunyai anak beru berdasarkan adat istiadat karo. Bagi anak kandungnya, anak kandungnya tidak mempunyai anak beru dalam struktur adat Karo, si anak tidak memiliki struktur yang lengkap dalam adat karo, apakah sebagai kalimbubu, anak beru, sembuyak/senina. Pemberian klen ini sifatnya seumur hidup untuk wanita, karena begitu siwanita meninggal dunia, klen yang diterimanya tidak dapat diwariskan kepda anak-anak yang dilahirkannya. Berbeda dengan pria selamanya (abadi), hal ini disebabkan masyarakat Karo berdasarkan sistem patrilineal, pria yang menurunkan garis keturunan. Bila kepada seorang pria telah diberikan klen, klen yang telah diterimanya, dapat disandang (diwariskan) sampai ke anak cucunya, dengan tetap bersandarkan sistem kekerabatan orang yang memberinya klen tersebut.
Pembagian harta warisan didasarkan kepada nilai patrilineal yaitu harta warisan yang tidak bergerak diwariskan kepada anak laki-laki sebagai penerus generasi keluarga. Konflik diselesaikan berdasarkan semangat kekerabatan dan persaudaraan. Suka duka dihadapi dengan nilai atau semangat gotong royong dan persaudaraan.[4]
3.    Penerimaan masyarakat Terhadap agama dan suku yang berbeda.
Masyarakat Karo khususnya di Berastagi memeluk berbagai agama yakni, Kristen Protestan , Katolik, Islam, Hindu dan Budha. Dari lima agama tersebut yang dominan penganutnya adalah Kristen yang dikenal dengan dalam kelompok GBKP ( Geraja Batak Karo Protestan). Sedangkan Islam merupakan kelompok minoritas.
Disamping masyarakat asli Karo, juga banyak masyarakat pendatang yang terdiri dari suku Mandailing, Batak Toba, Simalungun, Pakpak, Padang, Jawa, Aceh, dan lain-lain.  Mereka hidup rukun tanpa pernah mempersoalkan agama dan suku. Hal ini dapat dilihat dalam kebiasaan hidup sehari – hari. Apabila ada acara pesta perkawinan, maka semua kelurga dan sahabat dari berbagai suku saling mengundang satu sama lain. Yang penting antara satu sama lain saling mengerti dan memahami perbedaan sehingga tercipta kerukunan. Kunci kerukunan tersebut antara lain:
1.    Tidak membicarakan agama antara sesama selain di tempat tempat tertentu, yakni pengajian dan mesjid, begitu juga Kristen mereka akan membicarakan  agama di tempat perkumpulan mereka dan di gereja.
2.    Bila yang melaksanakan pesta beragama Kristen, maka acara makan dilaksanakan dengan do’a agama Kristen. Dan apabila yang pesta beragama Islam maka acara makan dilakukan dengan doa Islami.
3.    Dalam acara adat hanya bercerita tentang adat istiadat, baik bertutur kata atau dalam  perkenalan antara sesama suku atau lain suku sehingga memunculkan keakraban antar sesama.
C.      Penutup

Dari tulisan tersebut dapat disimpulkan bahwa Karo merupakan salah satu daerah yang memiliki suku tersendiri dengan system budaya yang berbeda dengan daerah lain. Masyarakat karo memandang adat istiadat merupakan hal yang terpenting. Oleh karena itu siapa saja yang berdomisili di Kabupaten Karo bila mengikuti adat tersebut, maka mendapatkan rasa aman dan nyaman walaupun dari daerah lain dengan suku yang berbeda. Sedangkan agama yang dianut masyarakat Karo beraneka ragam. Dan hal ini tidak pernah diperbincangkan apabila bertemu dengan sesama kecuali di tempat perkumpulan agama dan di rumah ibadah. Hal ini membuat masyarakat Karo hidup rukun antara sesama, baik sesama suku karo maupun dengan suku pendatang.
Demikian tulisan ini semoga bermanfaat bagi kita semuanya, bila terdapat kekurangan dan kelemahan meruapakan kelemahan saya sebagai penulis dalam mencari referensi pendukung dalam pembuatan tulisan ini.

DAFTAR PUSTAKA
Dyen, Isidore, A lexicostatistical classifcation of the Austronesian Languages. International Journal of American Linguistics 31, memoir 19.1965
Viner, A.C., The Changing Batak. Journal of the Malaysian Branch of Royal Asiatic Society ,1979
Singarimbun, Masri, Kinship, descent and alliance among Karo Batak, Berkeley: University of California Press.1975.
Tamboen, P., Adat Istiadat Karo. Djakarta: Balai Pustaka.1952
Priest Darwin, SH, Budaya Karo, Bina Media Printis, Medan 2000
Sitepu Sempa, dkk. Pilar Budaya Karo, BALI scan, Medan





[1] Dyen, Isidore, 1965, A lexicostatistical classifcation of the Austronesian Languages. International Journal of American Linguistics 31, memoir 19
[2] Viner, A.C., 1979, The Changing Batak. Journal of the Malaysian Branch of Royal Asiatic Society 52:84-112.

[3] Tamboen, P., 1952, Adat Istiadat Karo. Djakarta: Balai Pustaka
[4] e-USU Repository ©2004 Universitas Sumatera Utara