Senin, 30 April 2012

Prinsip Pendidikan Anak Usia Dini/ Taman Kanak-Kanak

Dalam program pendidikan anak usia dini hendaklah terjadi pemenuhan berbagai macam kebutuhan anak, mulai dari kesehatan, nutrisi, dan stimulasi pendidikan, juga harus dapat memberdayakan lingkungan masyarakat di mana anak tersebut tinggal. Prinsip pelaksanaan program pendidikan anak usia dini harus mengacu pada prinsip umum yang terkandung dalam Konvensi Hak Anak, yang meliputi: a. Nondiskriminasi, sehingga semua anak dapat mengecap pendidikan usia dini tanpa membedakan suku bangsa, jenis kelamin, bahasa, agama, tingkat sosial, serta kebutuhan khusus setiap anak. b. Dilakukan demi kebaikan terbaik untuk anak (the best interest of the child), bentuk pengajaran, kurikulum yang diberikan harus disesuaikan dengan tingkat perkembangan kognitif, emosional, konteks sosial budaya di mana anak-anak hidup. c. Mengakui adanya hak hidup, kelangsungan hidup dan perkembangan yang sudah melekat pada anak. d. Penghargaan terhadap pendapat anak (respect for the views of the child), pendapat anak terutama yang menyangkut kehidupannya perlu mendapatkan perhatian dan tanggapan. Prinsip pelaksanaan kegiatan pendidikan anak usia dini harus sejalan pula dengan prinsip pelaksanaan keseluruhan proses pendidikan, seperti yang dikemukakan oleh Damanhuri Rosadi delapan prinsip tersebut adalah: a. Pengembangan diri, pribadi, karakter, serta kemampuan belajar anak diselenggarakan secara tepat, terarah, cepat dan berkesinambungan. b. Pendidikan dalam arti pembinaan dan pengembangan anak mencakup upaya meningkatkan sifat mampu mengembangkan diri dalam anak. c. Pemantapan tata nilai yang dihayati oleh anak sesuai sistem tata nilai hidup dalam masyarakat, dan dilaksanakan dari bawah dengan melibatkan Lembaga Swadaya Masyarakat. d. Pendidikan anak adalah usaha sadar, usaha yang menyeluruh, terarah, terpadu, dan dilaksanakan secara bersama dan saling menguatkan oleh semua pihak yang terpanggil. e. Pendidikan anak adalah suatu upaya yang berdasarkan kesepakatan sosial seluruh lapisan dan golongan masyarakat. f. Anak mempunyai kedudukan sentral dalam pembangunan, di mana TK memiliki makna strategis dalam investasi pembangunan sumber daya manusia. g. Orang tua dengan keteladanan adalah pelaku utama dan pertama komunikasi dalam TK. h. Program TK harus melingkupi inisiatif berbasis oang tua, berbasis masyarakat, dan institusi formal prasekolah. Keluarga merupakan tempat yang penting bagi pelaksanaan pendidikan anak usia dini, sebab keluarga merupakan tempat pendidikan yang utama dan pertama bagi anak dalam rangka mengembangkan potensi yang dimiliki. Setiap anak pada dasarnya memiliki potensi atau kemampuan untuk berpikir, berkreasi, berkomunikasi dengan orang lain dan potensi lainnya, sehingga untuk mengembangkan potensi tersebut diperlukan adanya bimbingan dan arahan dari orang tua, pendidik atau orang dewasa lainnya, guna mencapai hasil yang maksimal bagi pertumbuhan dan perkembangan anak. Pengembangan potensi tersebut harus dimulai sejak usia dini, sebab pada usia tersebut merupakan dasar untuk perkembangan berpikir pada masa-masa berikutnya. 3. Konsep Kreativitas Supriadi (2001: 7) menyimpulkan bahwa pada intinya kreativitas adalah kemampuan seseorang untuk melahirkan sesuatu yang baru, baik berupa gagasan maupun karya nyata, yang relatif berbeda dengan apa yang telah ada sebelumnya. Keberhasilan kreativitas menurut Amabile (Munandar, 2004: 77) adalah persimpangan (intersection) antara keterampilan anak dalam bidang tertentu (domain skills), keterampilan berpikir dan bekerja kreatif, dan motivasi intrinsik. Persimpangan kreativitas tersebut - yang disebut dengan teori persimpangan kreativitas (creativity intersection) - dapat digambarkan seperti berikut ini: Gambar 1. Teori Persimpangan Kreativitas Sumber: T.M. Amabile (Munandar, 2004. Pengembangan Kreativitas Anak Berbakat) Ciri-ciri kreativitas dapat ditinjau dari dua aspek yaitu: a. Aspek Kognitif. Ciri-ciri kreativitas yang berhubungan dengan kemampuan berpikir kreatif//divergen (ciri-ciri aptitude) yaitu: 1) keterampilan berpikir lancar (fluency); (2) keterampilan berpikir luwes/fleksibel (flexibility); (3) keterampilan berpikir orisinal (originality); (4) keterampilan memperinci (elaboration); dan (5) keterampilan menilai (evaluation). Makin kreatif seseorang, ciri-ciri tersebut makin dimiliki. (Williams dalam Munandar, 1999: 88) b. Aspek Afektif. Ciri-ciri kreativitas yang lebih berkaitan dengan sikap dan perasaan seseorang (ciri-ciri non-aptitude) yaitu: (a) rasa ingin tahu; (b) bersifat imajinatif/fantasi; (c) merasa tertantang oleh kemajemukan; (d) sifat berani mengambil resiko; (e) sifat menghargai; (f) percaya diri; (g) keterbukaan terhadap pengalaman baru; dan (h) menonjol dalam salah satu bidang seni (Williams & Munandar, 1999). Torrance dalam Supriadi (Adhipura, 2001: 47) mengemukakan tentang lima bentuk interaksi guru dan siswa di kelas yang dianggap mampu mengembangkan kecakapan kreatif siswa, yaitu: (1) menghormati pertanyaan yang tidak biasa; (2) menghormati gagasan yang tidak biasa serta imajinatif dari siswa; (3) memberi kesempatan kepada siswa untuk belajar atas prakarsa sendiri; (4) memberi penghargaan kepada siswa; dan (5) meluangkan waktu bagi siswa untuk belajar dan bersibuk diri tanpa suasana penilaian. Hurlock pun (1999: 11) mengemukakan beberapa faktor pendorong yang dapat meningkatkan kreativitas, yaitu: (1) waktu, (2) kesempatan menyendiri, (3) dorongan, (4) sarana, (5) lingkungan yang merangsang, (6) hubungan anak-orangtua yang tidak posesif, (7) cara mendidik anak, (8) kesempatan untuk memperoleh pengetahuan. Amabile (Munandar, 2004: 223) mengemukakan empat cara yang dapat mematikan kreativitas yaitu evaluasi, hadiah, persaingan/kompetisi antara anak, dan lingkungan yang membatasi. Sementara menurut Torrance dalam Arieti yaitu: (1) usaha terlalu dini untuk mengeliminasi fantasi; (2) pembatasan terhadap rasa ingin tahu anak; (3) terlalu menekankan peran berdasarkan perbedaan seksual; (4) terlalu banyak melarang; (5) takut dan malu; (6) penekanan yang salah kaprah terhadap keterampilan verbal tertentu; dan (7) memberikan kritik yang bersifat destruktif (Adhipura, 2001: 46).

Selasa, 21 Februari 2012

Pengembangan Budaya Keagamaan di Sekolah

Pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara, karena pendidikan merupakan tugas dan tanggung jawab bersama antara keluarga, masyarakat, dan pemerintah. Pendidikan diselenggarakan secara demokratis dan berkeadilan serta tidak diskriminatif dengan menjunjung tinggi hak asasi manusia, nilai keagamaan, nilai kultural, dan kemajemukan bangsa. Pendidikan diselenggarakan sebagai suatu proses pembudayaan dan pemberdayaan peserta didik yang berlangsung sepanjang hayat. Di dalam Undang-Undang Dasar 1945 pasal 31 tentang pendidikan menyebutkan antara lain pemerintah memajukan ilmu pengetahuan dan teknologi dengan menjunjung tinggi nilai nilai agama dan persatuan bangsa untuk kemajuan peradaban serta kesejahteraan umat manusia. Hal ini menunjukkan pendidikan berorientasi ke masa depan dengan bertumpu pada potensi sumber daya manusia dan kekuatan budaya masyarakat, sehingga meningkatkan mutu manusia dan masyarakat. Peningkatan mutu pendidikan Islam memperhatikan pengembangan kecerdasan rasional dalam rangka memacu penguasaan nilai-nilai agama Islam dan ilmu pengetahuan serta teknologi di samping memperkokoh kecerdasan emosional, sosial, dan spiritual.
Pembangunan pendidikan di Indonesia mengacu pada sistem pendidikan nasional yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional. Dalam Undang-Undang ini dinyatakan fungsi pendidikan nasional adalah mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa. Pendidikan nasional ini berakar pada nilai-nilai agama, kebudayaan nasional Indonesia dan tanggap terhadap tuntutan perubahan jaman. Selain itu, pendidikan nasional memiliki misi meningkatkan keprofesionalan dan akuntabilitas lembaga pendidikan sebagai pusat pembudayan ilmu pengetahun, keterampilan, pengalaman, sikap, dan nilai berdasarkan standar nasional dan global.
Di dalam Bab II Peraturan Pemerintah Nomor 55 tahun 2007 tentang Pendidikan Agama dan Pendidikan Keagamaan, dinyatakan bahwa pengelolaan pendidikan agama dilaksanakan oleh Menteri Agama, dan bertujuan untuk berkembangnya kemampuan peserta didik dalam memahami, menghayati, dan mengamalkan nilai-nilai agama yang menyerasikan penguasaannya dalam ilmu pengetahuan, teknologi, dan seni. Agama merupakan keseluruhan tingkah laku manusia dalam hidup. Tingkah laku itu membentuk keutuhan manusia berakhlak mulia atas dasar percaya atau beriman kepada Tuhan dan tanggung jawab pribadinya. Untuk menjelaskan agama seorang pendidik bisa menggunakan ilmu lain, jika ilmu agama itu memiliki hubungan dengan ilmu-ilmu tersebut dalam menafsirkan berbagai materi atau kejadian-kejadian yang terjadi dalam kehidupan manusia. Pendidikan keagamaan berfungsi mempersiapkan peserta didik menjadi anggota masyarakat yang memahami dan mengamalkan nilai-nilai ajaran agamanya dan/atau menjadi ahli ilmu agama. Hal ini sesuai dengan karakter bangsa Indonesia adalah masyarakat yang berdasarkan pada kehidupan beragama dalam pergaulannya (religionism). Pemerintah memajukan ilmu pengetahuan dan teknologi dengan menjunjung tinggi nilai-nilai agama dan persatuan bangsa untuk kemajuan peradaban dan kesejahteraan umat manusia.
Menurut Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2005 pasal 5 tentang Standar Nasional Pendidikan dijelaskan bahwa pendidikan agama mendorong peserta didik untuk taat menjalankan ajaran agamanya dalam kehidupan sehari-hari. Selain itu juga menjadikan agama sebagai landasan etika dan moral dalam kehidupan pribadi, keluarga, masyarakat, bangsa, dan negara. Dengan pendidikan agama dapat membangun sikap mental peserta didik yang baik. Peserta didik akan memiliki sikap dan perilaku jujur, amanah, bertanggung jawab, percaya diri, disiplin, bekerja keras, dan mandiri. Pada diri peserta didik pun akan tumbuh sikap kritis, inovatif, dan dinamis yang memberikan motivasi kepada peserta didik untuk menguasai ilmu pengetahuan, teknologi, seni, dan/atau olah raga. Untuk menciptakan kemampuan peserta didik seperti itu, maka diperlukan proses pendidikan yang interaktif, kreatif, inspiratif, komunikatif, menyenangkan, menantang, dan menumbuhkan motivasi. Jika pendidikan agama dipahami dengan baik dan benar oleh peserta didik, maka dapat mewujudkan keharmonisan, kerukunan, dan rasa hormat diantara sesama pemeluk agama yang dianut terhadap pemeluk agama lain. Hal ini sesuai dengan Pendidikan Agama Islam yang mengembangkan prinsip-prinsip pendidikan antara lain holistic antara akidah, ibadah, muamalah dan akhlakul karimah.
Prinsip Pendidikan Agama Islam lainnya adalah interkoneksitas antara ilmu agama, ilmu pengetahuan, dan teknologi. Untuk itu kurikulum pembelajaran dalam pendidikan agama Islam lebih banyak mengenai dasar pembentukan intelek dan komunikasi dengan dunia luar, karena hal ini dianggap sebagai upaya “memanusiakan manusia.” Manusia dibedakan dari jenis makhluk hidup lain karena ia mempunyai intelektual. Oleh karenanya upaya memanusiakan manusia dilakukan dengan mengembangkan inteleknya. Orang berpendidikan dipandang sebagai kaum intelektual yang termasuk kaum elite. Kelas sosial tertinggi adalah mereka yang memperoleh pendidikan tinggi; makin rendah tingkatan pendidikan makin rendah kelas sosialnya. Tujuan pendidikan adalah memperbaiki intelek dengan mendisiplin mentalnya. Namun demikian kurikulum sepatutnya tidak dimaksudkan untuk semata-mata membentuk intelek, tetapi diarahkan agar peserta didik dapat mempelajari sesuatu yang berhubungan dengan fungsi kehidupan. Selain itu ada pula budaya yang disampaikan dalam pembelajaran hanya berisi informasi yang bersifat praktis dan realistis, dengan tujuan mendidik keterampilan yang esensial dan berguna untuk hidup produktif.
Pendidikan Agama Islam dikembangkan dengan menempatkan nilai-nilai agama dan budaya luhur bangsa sebagai spirit dalam proses pengelolaan dan pembelajaran. Hal ini ditunjukan antara lain dengan mengintegrasikan wawasan keagamaan pada kurikulum pendidikan, menciptakan suasana keberagamaan pada kurikulum pendidikan, mengutamakan keteladanan dalam perilaku dan amalan keagamaan aparat pengelola dan pendidik, menyediakan dukungan bahan dan sarana pembelajaran seperti kitab suci, buku referensi keagamaan dan tempat ibadah. Namun demikian, pelaksanaan kurikulum pendidikan terkadang masih belum sepenuhnya menjadi alat perubahan nilai budaya masyarakat, tetapi masih lebih mengutamakan mengajarkan nilai-nilai budaya lama. Peserta didik kurang dibekali dengan realitas yang berkaitan dengan hakekat hidup dan kehidupan sehari-hari yang dialami di lingkungan tempat tinggalnya. Peserta didik lebih diarahkan untuk memperoleh ijazah setinggi-tinggi dan mempersiapkannya untuk menjadi pegawai dalam suatu instansi dan kurang menstimulus mereka untuk menjadi seorang peserta didik yang berbudaya, khususnya budaya keberagamaan. Untuk itu kurikulum seharusnya menjadikan guru dan peserta didik mampu menyadari pentingnya budaya keberagamaan dalam kehidupanya.
Pendidikan agama Islam pada berbagai jenjang persekolahan dituntut untuk menyesuaikan dan mengantisipasi setiap perubahan yang terjadi di masyarakat. Perubahan ini sebagai akibat dari kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi. Hal ini sesuai dengan prinsip pengembangan kurikulum yaitu tanggap terhadap perkembangan ilmu pengetahuan, teknologi dan seni. Kurikulum dikembangkan atas dasar kesadaran bahwa ilmu pengetahuan, teknologi dan seni yang berkembang secara dinamis. Semangat dan isi kurikulum memberikan pengalaman belajar peserta didik untuk mengikuti dan memanfaatkan perkembangan ilmu pengetahuan, teknologi, dan seni, khususnya dalam pembelajaran.
Pelaksanaan proses pembelajaran pendidikan agama Islam berorientasi pada penerapan Standar Nasional Pendidikan. Dalam proses pembelajaran bukan hanya terjadi transfer ilmu pengetahuan dari guru kepada peserta didik atau dari peserta didik kepada peserta didik lainnya, namun juga terjadi proses transfer kebudayaan yaitu terjadinya penanaman nilai-nilai, norma-norma, atau adat kebiasaan. Peserta didik adalah subjek yang melakukan akulturasi kebudayaan. Peserta didik mempelajari dan mengamalkan nilai, norma, atau kebiasaan yang ada di masyarakat. Untuk itu dilakukan kegiatan-kegiatan seperti pengembangan metode pembelajaran pendidikan agama Islam, pengembangan kultur budaya Islami dalam proses pembelajaran, dan pengembangan kegiatan-kegiatan kerokhanian Islam dan ekstrakurikuler. Dalam rangka menindaklanjuti hal tersebut maka dilaksanakan kegiatan yang langsung melibatkan pelaku utama pendidikan yaitu peserta didik.
Wujud dari kegiatan ini antara lain diselenggarakannya kegiatan keterampilan dan seni pendidikan agama Islam. Kegiatan ini sangat penting dalam rangka memberikan semangat dan gairah baru bagi para pendidik, peserta didik, atau yang memiliki tugas dan tanggung jawab dalam penyelenggaraan pendidikan di sekolah. Selain itu juga diharapkan kegiatan ini dapat menumbuhkan budaya keberagamaan (religious culture) di lingkungan sekolah. Kegiatan-kegiatan ini dimaksudkan untuk meningkatkan Emotional Quotient (EQ) dan Spiritual Quotient (SQ) agar semakin kokoh pada para peserta didik di kalangan sekolah/madrasah yaitu MI/SD, MTs/SMP, MA/SMA dan SMK, mempererat ukhuwah Islamiyah, membawa persaudaraan, persatuan dan kesatuan bangsa sesama peserta didik sekolah/madrasah. Emotional Quotient (EQ) adalah kecerdasan emosional dan Spiritual Quotient (SQ) adalah kecerdasan berkaitan dengan keberagamaan (religious), dan ada pula gabungan dari EQ dan SQ ini yaitu ESQ (Emotional Spiritual Quotient. Daniel Goleman (Depkominfo 2006: 15) beranggapan bahwa keberhasilan seseorang di masyarakat sebagian besar sekitar 80% ditentukan oleh kecerdasan emosi dan hanya 20% ditentukan oleh faktor kecerdasan kognitif (IQ). Intelegent Quotient (IQ) adalah kecerdasan intelektual atau kecerdasan otak kiri. Kecerdasan otak kiri menekankan pada peserta didik untuk menguasai kemampuan kognitif atau akademik, seperti membaca, menulis, berhitung. atau berupa hafalan, sehingga tidak ada apresiasi dan penghayatan yang dapat menumbuhkan semangat untuk belajar. Keberhasilan akademik peserta didik diukur dengan nilai angka dan ranking bukan pada proses belajar. Tujuannya mencetak peserta didik pandai di bidang akademik kognitif, maka materi pelajaran yang berkaitan dengan otak kiri saja yang diperhatikan yaitu bahasa dan logis matematik.
Emotional Quotient (EQ) adalah kecerdasan emosional atau kecerdasan otak kanan. Materi pelajaran yang berkaitan dengan otak kanan seperti kesenian atau musik. Beberapa aspek emosi-sosial yang menentukan keberhasilan peserta didik antara lain rasa percaya diri (confidence), rasa ingin tahu (curiosity), kemampuan mengontrol diri (self control), kemampuan bekerja sama (cooperation) ataupun mandiri, memiliki sifat jujur (honesty), bisa dipercaya (amanah), bekerja tepat waktu, mampu dan cepat menyesuaikan diri dengan orang lain, mempunyai motivasi kuat meningkatkan kualitas diri, mampu berkomunikasi, mampu menyelesaikan masalah.
Kematangan emosi-sosial menentukan keberhasilan peserta didik di sekolah, di masyarakat, dan dalam kehidupannya. Kematangan emosi ditandai antara lain mempunyai rasa percaya diri, rasa sabar, mematuhi instruksi, dan mampu bekerja sama dengan kelompok. Peserta didik menjadi sumber daya manusia yang bisa bekerja, terampil, rajin, tekun, kerja keras dan cerdas, percaya diri dengan kemampuan sendiri. Kecerdasan emosi memberikan kesempatan kepada peserta didik untuk berkembang secara alami. Peserta didik dapat mengembangkan fungsi otak kanan, sehingga akan memudahkan menguasai pelajaran yang diberikan guru. Peserta didik mengalami proses sosial emotional learning (kecerdasan emosi), joyful learning (belajar yang menyenangkan), dan active learning (peserta didik terlibat aktif). Peserta didik sebagai subjek pendidikan bukan hanya objek. Oleh karena itu sekolah seharusnya memberikan lingkungan yang dapat menumbukan rasa senang dan gembira kepada peserta didik. Pada diri peserta didik akan tumbuh rasa cinta untuk belajar, tidak perlu dipaksakan dengan perintah atau pelajaran terlalu kaku, membebani, dan membosankan, sehingga hasilnya tidak optimal.
Peserta didik yang tidak mempunyai bekal kompetensi emosional, spiritual, dan sosial sering tidak berhasil dalam masa-masa belajar di sekolah. Kehidupannya akan menghadapi berbagai masalah emosi, perilaku, akademik, dan perkembangan sosial. Mereka mengalami rendahnya rasa percaya diri dan keingintahuan, ketidakmampuan mengontol diri, rendahnya motivasi, kegagalan bersosialisasi, ketidakmampuan bekerja, dan rendahnya rasa empati. Untuk itu, guru perlu memberikan bekal yang penting bagi peserta didik dengan menciptakan kematangan emosi-sosialnya. Kematangan emosi-sosial peserta didik akan dapat berhasil dalam menghadapi segala macam tantangan. Kematangan emosi sosial pun berpengaruh terhadap kesehatan fisik peserta didik, yaitu mampu mengendalikan tekanan-tekanan (stress) yang dialaminya, karena jika tidak dikendalikan akan menimbulkan berbagai penyakit.
Perilaku guru dalam proses pendidikan, pengajaran, atau pola asuhnya yang diterapkannya di dalam sekolah kepada peserta didik pasti berpengaruh dalam pembentukan kepribadian peserta didik. Keberhasilan peserta didik mengatasi konflik kepribadian dalam dirinya sangat menentukan keberhasilan dalam kehidupan sosial di masyarakat dalam kehidupan sehari-hari. Perilaku itu antara lain kedekatan emosi (emotional bonding), pemberian atau sentuhan kasih sayang. Untuk itu proses pendidikan tidak hanya mementingkan kecerdasan otak kiri atau IQ saja tetapi juga mementingkan kecerdasan otak kanan atau EQ atau kecerdasan emosional dan Spiritual Quotient (SQ).
Bentuk Kegiatan Menumbuhkan Budaya Keberagamaan (Religious Culture)
Kegiatan-kegiatan yang dapat menumbuhkan budaya keberagamaan (religious culture) di lingkungan sekolah antara lain pertama, melakukan kegiatan rutin, yaitu pengembangan kebudayaan keberagamaan secara rutin berlangsung pada hari-hari belajar biasa di sekolah. Kegiatan rutin ini dilakukan dalam kegiatan sehari-hari yang terintegrasi dengan kegiatan yang telah diprogramkan, sehingga tidak memerlukan waktu khusus. Pendidikan agama merupakan tugas dan tanggung jawab bersama bukan hanya guru agama saja melainkan juga tugas dan tanggung jawab guru-guru bidang studi lainnya atau sekolah. Pendidikan agama pun tidak hanya terbatas pada aspek pengetahuan, tetapi juga meliputi pembentukan sikap, perilaku, dan pengalaman keagamaan. Untuk itu pembentukan sikap, perilaku, dan pengalaman keagamaan pun tidak hanya dilakukan oleh guru agama, tetapi perlu didukung oleh guru-guru bidang studi lainnya.
Kedua menciptakan lingkungan sekolah yang mendukung dan menjadi laboratorium bagi penyampaian pendidikan agama, sehingga lingkungan dan proses kehidupan semacam ini bagi para peserta didik benar-benar bisa memberikan pendidikan tentang caranya belajar beragama. Dalam proses tumbuh kembangnya peserta didik dipengaruhi oleh lingkungan sekolah, selain lingkungan keluarga dan lingkungan masyarakat. Suasana lingkungan sekolah dapat menumbuhkan budaya keberagamaan (religious culture). Sekolah mampu menanamkan sosialisasi dan nilai yang dapat menciptakan generasi-generasi yang berkualitas dan berkarakter kuat, sehingga menjadi pelaku-pelaku utama kehidupan di masyarakat. Suasana lingkungan sekolah ini dapat membimbing peserta didik agar mempunyai akhlak mulia, perilaku jujur, disiplin dan semangat sehingga akhirnya menjadi dasar untuk meningkatkan kualitas dirinya.
Ketiga, pendidikan agama tidak hanya disampaikan secara formal oleh guru agama dengan materi pelajaran agama dalam suatu proses pembelajaran, namun dapat pula dilakukan di luar proses pembelajaran dalam kehidupan sehari-hari. Guru bisa memberikan pendidikan agama secara spontan ketika menghadapi sikap atau perilaku peserta didik yang tidak sesuai dengan ajaran agama. Manfaat pendidikan secara spontan ini menjadikan peserta didik langsung mengetahui dan menyadari kesalahan yang dilakukannya dan langsung pula mampu memperbaikinya. Manfaat lainnya dapat dijadikan pelajaran atau hikmah oleh peserta didik lainnya, jika perbuatan salah jangan ditiru, sebaliknya jika ada perbuatan yang baik harus ditiru.
Keempat, menciptakan situasi atau keadaan keberagamaan. Tujuannya untuk mengenalkan kepada peserta didik tentang pengertian agama dan tata cara pelaksanaan agama tersebut dalam kehidupan sehari-hari. Selain itu juga menunjukkan pengembangan kehidupan keberagamaan di sekolah yang tergambar dari perilaku sehari-hari dari berbagai kegiatan yang dilakukan oleh guru dan peserta didik. Oleh karena itu keadaan atau situasi keagamaan di sekolah yang dapat diciptakan antara lain pengadaan peralatan peribadatan seperti tempat untuk shalat (masjid atau mushalla), alat-alat shalat seperti sarung, peci, mukena, sajadah atau pengadaan Al Quran. Selain itu di ruangan kelas bisa pula ditempelkan kaligrafi, sehingga peserta didik dibiasakan selalu melihat sesuatu yang baik. Selain itu dengan menciptakan suasana kehidupan keagamaan di sekolah antara sesama guru, guru dengan peserta didik, atau peserta didik dengan peserta didik lainnya. Misalnya, dengan mengucapkan kata-kata yang baik ketika bertemu atau berpisah, mengawali dan mengakhiri suatu kegiatan, mengajukan pendapatan atau pertanyaan dengan cara yang baik, sopan, santun tidak merendahkan peserta didik lainnya, dan sebagainya.
Kelima memberikan kesempatan kepada peserta didik sekolah/madrasah untuk mengekspresikan diri, menumbuhkan bakat, minat dan kreativitas pendidikan agama Islam dalam keterampilan dan seni, seperti membaca Al Quran, adzan, sari tilawah, serta untuk mendorong peserta didik sekolah mencintai kitab suci, dan meningkatkan minat peserta didik untuk membaca, menulis serta mempelajari isi kandungan Al Quran. Dalam membahas suatu materi pelajaran agar lebih jelas guru hendaknya selalu diperkuat oleh nas-nas keagamaan yang sesuai berlandaskan pada Al Quran dan Hadits Rasulullah saw. Tidak hanya ketika mengajar saja tetapi dalam setiap kesempatan guru harus mengembangkan kesadaran beragama dan menanamkan jiwa keberagamaan yang benar. Guru memperhatikan minat keberagaman peserta didik. Untuk itu guru harus mampu menciptakan dan memanfaatkan suasana keberagamaan dengan menciptakan suasana dalam peribadatan seperti shalat, puasa dan lain-lain.
Keenam, menyelenggarakan berbagai macam perlombaan seperti cerdas cermat untuk melatih dan membiasakan keberanian, kecepatan, dan ketepatan menyampaikan pengetahuan dan mempraktekkan materi pendidikan agama Islam. Mengadakan perlombaan adalah sesuatu yang sangat menyenangkan bagi peserta didik, membantu peserta didik dalam melakukan kegiatan-kegiatan yang bermanfaat, menambah wawasan dan membantu mengembangkan kecerdasan serta menambahkan rasa kecintaan. Perlombaan bermanfaat sangat besar bagi peserta didik berupa pendalaman pelajaran yang akan membantu mereka untuk mendapatkan hasil belajar secara maksimal. Perlombaan dapat membantu para pendidik dalam mengisi waktu kekosongan waktu peserta didik dengan sesuatu yang bermanfaat bagi mereka dan pekelahian pelajar dapat dihindarkan. Dari perlombaan ini memberikan kreativitas kepada peserta didik dengan menanamkan rasa percaya diri pada mereka agar mempermudah bagi peserta didik untuk memberikan pengarahan yang dapat mengembangkan kreativitasnya. Nilai-nilai yang terkandung dalam perlombaan itu antara lain adanya nilai pendidikan di mana peserta didik mendapatkan pengetahuan, nilai sosial, yaitu peserta didik bersosialisasi atau bergaul dengan yang lainnya, nilai akhlak yaitu dapat membedakan yang benar dan yang salah, seperti adil, jujur, amanah, jiwa sportif, mandiri. Selain itu ada nilai kreativitas dapat mengekspresikan kemampuan kreativitasnya dengan cara mencoba sesuatu yang ada dalam pikirannya.
Salah satu contoh perlombaan adalah lomba berpidato. Peserta didik diberikan kesempatan berpidato untuk melatih dan mengembangkan keberanian berkomunikasi secara lisan dengan menggunakan teks atau tanpa teks menyampaikan pesan-pesan Islami. Menjadi ahli pidato yang efektif menuntut para peserta didik mengembangkan kemampuannya untuk berkomunikasi secara efektif dan penuh percaya diri, serta mampu merumuskan dan mengkomunikasikan pendapat dan gagasan di dalam berbagai kesempatan dan keadaan. Peserta didik diharapkan mampu mendakwahkan ajaran agama yang benar sesuai dengan hukum-hukum agama, tidak sebaliknya berpidato atau berkomunikasi yang merendahkan agama.
Ketujuh, diselenggarakannya aktivitas seni, seperti seni suara, seni musik, seni tari, atau seni kriya. Seni adalah sesuatu yang berarti dan relevan dalam kehidupan. Seni menentukan kepekaan peserta didik dalam memberikan ekspresi dan tanggapan dalam kehidupan. Seni memberikan kesempatan kepada peserta didik untuk mengetahui atau menilai kemampuan akademis, sosial, emosional, budaya, moral dan kemampuan pribadinya lainnya untuk pengembangan spiritual rokhaninya. Untuk itu pendidikan seni perlu direncanakan dengan baik agar menjadi pengalaman kreatif yang jelas tujuannya. Melalui pendidikan seni, peserta didik memperoleh pengalaman berharga bagi dirinya, mengekspresikan sesuatu tentang dirinya dengan jujur dan tidak dibuat-buat. Untuk itu, guru harus mampu menyadarkan peserta didik untuk menemukan ekspresi dirinya. Melalui pendidikan seni peserta didik dilatih untuk mengembangkan bakat, kreatifitas, kemampuan, dan keterampilan yang dapat ditransfer pada kehidupan. Melalui seni para peserta didik akan memperoleh pengalaman dan siap untuk memahami dirinya sendiri secara mandiri. Peserta didik yang mandiri mampu memahami gaya belajar mereka sendiri, disiplin dalam belajar bukan karena tekanan pihak lain, sehingga mereka mampu mengenali, mengidentifikasi dan memahami kekuatan dan kelemahan kemampuannya mengembangkan bakat dan minatnya. Selain itu juga untuk menghadapi berbagai tantangan, baik dalam belajar maupun dalam kehidupan yang dijalaninya sehari-hari. Peserta didik dikondisikan agar mampu mengkomunikasikan apa yang dilihat, didengar, diketahui, atau dirasakannya. Peserta didik mampu membuat dan mengembangkan perasaan, imajinasi, dan gagasan secara ekspresif agar menjadi hidup yang berguna bagi pengembangan diri.
Pembelajaran seni di sekolah memiliki kontribusi dalam sikap belajar seumur hidup (life long learning). Selama waktu belajar di sekolah atau di luar waktu belajar, peserta didik diharapkan selalu melakukan aktivitas seni untuk mengembangkan pengetahuan, sikap, dan keterampilannya. Oleh karena itu, kurikulum pendidikan seni pada dasarnya dirancang untuk membantu peserta didik untuk belajar seumur hidup dengan memiliki pengetahuan, pemahaman, pemikiran, atau komunikasi yang efektif. Melalui pelajaran seni di sekolah, para peserta didik dilibatkan untuk menciptakan dan mengekspresikan gagasan dan perasaan dalam bentuk ucapan, tulisan, pendengaran atau gerakannya.
Salah satu bidang seni yang diselenggarakan adalah seni nasyid. Nasyid adalah seni vocal yang kadang-kadang dilengkapi dengan alat music. Tujuan nasyid antara lain untuk melatih dan mengembangkan keberanian, penjiwaan, keindahan, keserasian dan kemampuan mengaransemen seni modern yang islami. Nasyid mengembangkan kemampuan untuk berfikir dan mengeksresikan diri dalam bentuk vokal atau bunyi-bunyian alat-alat musik. Peserta didik belajar untuk menginterpretasikan atau mengekspresikan emosi atau jiwa spiritual di dalam bernyanyi atau bermusik. Dengan bernyanyi atau bermusik peserta didik mendapatkan kepuasan lahir dan bathinnya sehingga menjadi landasan yang baik untuk meningkatkan semangat belajarnya. Nasyid biasanya berisikan lagu-lagu atau syair syair manis berupa pujian yang menyenangkan perasaan  atau hati. Nasyid ini dapat dijadikan cara yang cukup efektif untuk membantu peserta didik dalam memahami berbagai persoalan, seperti tentang kehidupan, rasa cinta kepada sesama manusia atau kepada Tuhan Yang Maha Esa, dan sebagainya. Nasyid dengan menggunakan bahasa dan intonasi yang mudah dipahami mempunyai pengaruh yang baik bagi pertumbuhan jiwa dan bahasa peserta didik. Apalagi kalau disertai dengan gerakan-gerakan yang mudah untuk dilakukan. Serasinya antara suara dengan gerakan atau antara lagu/syair-syair dengan gerakan-gerakan yang mengikutinya dapat menyenangkan perasaan dan menenangkan hati peserta didik.
Budaya Keberagamaan dengan Kecakapan Hidup
Pembelajaran yang menekankan pada kebudayaan keberagamaan bisa dilakukan dengan menerapkan pendekatan kecakapan hidup (life skill). Manfaat atau dampak yang positif kecakapan hidup bagi peserta didik antara lain dalam kecakapan personal yang diperoleh peserta didik dapat menumbuhkan keimanan dan ketaqwaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa sebagai pondasi dalam membentuk dan mengembangkan akhlak mulia, rasa percaya diri, kemandirian, harga diri, dan kasih sayang kepada orang lain. Bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, yaitu berkaitan keyakinan terhadap agama atau kepercayaan, pengabdian dan ketaqwaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa. Tuhan yang menciptakan semua makhluk hidup dan alam semesta. Peserta didik pun diarahkan agar menjadi manusia yang memiliki akhlak mulia, yaitu memiliki atau menunjukkan ciri-ciri karakter akhlak mulia, seperti kejujuran, kesalehan, kesabaran, keberanian, kedermawanan, atau kehormatan, kasih sayang, hormat, toleran, pemberi maaf, rendah hati, dan baik hati.
Kurikulum dikembangkan berdasarkan prinsip bahwa peserta didik memiliki posisi sentral untuk mengembangkan kompetensinya agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab. Untuk mendukung pencapaian tujuan tersebut pengembangan kompetensi peserta didik disesuaikan dengan potensi, perkembangan, kebutuhan, dan kepentingan peserta didik serta tuntutan lingkungan. Memiliki posisi sentral berarti kegiatan pembelajaran berpusat pada peserta didik.
DAFTAR PUSTAKA
Depkominfo., (2006). Pentingnya Pendidikan dalam Keluarga. Jakarta: Depkominfo
Peraturan Pemerintah No. 55 tahun 2007 Bab II tentang Pendidikan Agama dan Pendidikan Keagamaan.
Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan.
Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional.

Senin, 06 Februari 2012

Pendekatan dan Metode pendidikan Agama Islam Multikultural

                                                    oleh Jasa Fadilah Ginting
Sebagai sebuah konsep yang mesti dituangkan dalam sistem kurikulum, pendidikan agama Islam berwawasan multikultural secara umum menggunakan berbagai pendekatan (approaches) dan metode yang beragam.
Pendekatan-pendekatan yang mungkin dapat dilakukan dalam mengimplementasikan pendidikan agama (Islam) berbasis multikultural adalah (1) Pendekatan Historis, (2) Pendekatan Sosiologis, (3) Pendekatan kultural, (4) Pendekatan psikologis, (5) Pendekatan estetik, dan (6) Pendekatan Berperspektif Gender.[1]  Keenam pendekatan ini sangat memungkinkan untuk terciptanya kesadaran pluralistic multikultural dalam pendidikan agama (Islam) serta dalam penerapannya sangatlah mungkin diterapkan secara integratif, sehingga sangat memungkinkan pula untuk terbentuknya suatu bentuk pendekatan baru.
Sedangkan metode yang umum digunakan dalam pelaksanaan pendidikan multikultural (sehingga dapat juga digunakan dalam pelaksanaan pendidikan agama Islam berwawasan multikultural) antara lain adalah (1) Metode Kontribusi; (2) Metode Pengayaan; (3) Metode Transformasi; (4) Metode Pembuatan Keputusan dan Aksi Sosial.[2] 
Pendekatan dan metode-metode di atas, dalam aplikasinya tidak dapat diberi batasan dengan tegas, dalam arti semua pendekatan dan metode tersebut dapat diaplikasikan secara simultan dan integratif dalam suatu proses pembelajaran. Di antara implementasi dari aplikasi simultan dan integral pendekatan dan metode di atas adalah terwujudnya cooperative teaching (pembelajaran kooperatif)[3], yang sangat memungkinkan terdidik berkomunikasi interaktif satu dengan yang lainnya dengan optimal sehingga terwujud kesalingterbukaan dan kesalingpemahaman secara proporsional.


[1] Zuly Qodir, “Pendidikan Islam Transformatif: Upaya Menyingkap Dimensi Pluralis dalam Pendidikan Akidah Akhlak”, Tashwirul Afkar ( Edisi No. 11 Tahun 2001), 38-43
[2] Suparta, Mundzier. Islamic Multicultural Education: Sebuah Refeleksi atas Pendidikan Agama Islam di Indonesia. (Jakarta: Al-Ghazali Center, 2008),h. 137-140
[3] Suatu pembelajaran dapat diidentifikasi sebagai pembelajaran kooperatif jika memiliki beberapa karakteristik. Pertama, adanya saling ketergantungan positif (positive interdependence). Kedua, adanya interaksi tatap muka yang membangun (face to face promotive interaction). Ketiga, adanya pertanggungjawaban secara individual (individual accountability). Keempat, terwujudnya keterampilan sosial (social skills), dan kelima, masing-masing kelompok mendiskusikan kemajuan mereka dan memberikan masukan, sehingga masing-masing mampu meningkatkan diri (groups process their effectiveness. Periksa Zainal Abidin, ed. Pendidikan Agama Islam dalam Perspektif Multikulturalisme (Jakarta: Balai Penelitian dan Pengembangan Agama, 2009), 211