EKSISTENSI ADAT ISTIADAT KARO DALAM
PEMBENTUKAN MASYARAKAT MULTIKULTURAL DI
KABUPATEN KARO
PROVINSI SUMATERA UTARA
Oleh
JASA FADILAH GINTING
A.
Pendahuluan
Indonesia adalah
salah satu negara multikultural terbesar di dunia. Kenyataan ini dapat dilihat
dari kondisi sosio-kultural maupun geografis yang begitu beragam dan luas.
Keragaman ini diakui atau tidak akan dapat menimbulkan berbagai persoalan,
seperti korupsi, kolusi, nepotisme, kemiskinan, kekerasan, perusakan
lingkungan, separatisme, dan hilangnya rasa kemanusiaan untuk menghormati
hak-hak orang lain, merupakan bentuk nyata sebagai bagian dari
multikulturalisme tersebut.
Berdasarkan
permasalahan di atas, maka diperlukan strategi khusus untuk memecahkan
persoalan tersebut melalui berbagai bidang; sosial, ekonomi, budaya, dan
pendidikan. Berkaitan dengan hal ini, maka pendidikan multikultural menawarkan
satu alternatif melalui penerapan strategi dan konsep pendidikan yang berbasis
pada pemanfaatan keragaman yang ada di masyarakat, khususnya yang ada pada
siswa seperti keragaman etnis, budaya, bahasa, agama, status sosial, gender,
kemampuan, umur, dll. Karena itulah yang terpenting dalam pendidikan
multikultural adalah seorang guru tidak hanya dituntut untuk menguasai dan
mampu secara profesional mengajarkan mata pelajaran diajarkan. Lebih dari itu,
seorang pendidik juga harus mampu menanamkan nilai-nilai inti dari pendidikan
multikultural seperti demokrasi, humanisme, dan pluralisme atau menanamkan
nilai-nilai keberagamaan yang inklusif pada siswa. Pada gilirannya, out-put
yang dihasilkan dari sekolah/universitas tidak hanya cakap sesuai dengan
disiplin ilmu yang ditekuninya, tetapi juga mampu menerapkan nilai-nilai
keberagamaan dalam memahami dan menghargai keberadaan para pemeluk agama dan
kepercayaan lain.
Bila kita
mencermati berbagai kasus terjadinya konflik keagamaan akhir-akhir ini, salah
satu faktor penyebabnya adalah adanya paradigma keberagamaan masyarakat yang
bersifat eksklusif. Karena itu, diperlukan langkah-langkah preventif untuk
mencegah berkembangnya paradigma tersebut, yaitu dengan membangun pemahaman
keberagamaan yang lebih inklusif-pluralis, multikultural, humanis,
dialogis-persuasif, kontekstual melalui pendidikan, media massa, dan interaksi
sosial.
Bagaimana membangun
pemahaman keberagamaan siswa yang inklusisf di sekolah? Dalam hal ini, guru
mempunyai posisi penting dalam mengimplementasikan nilai-nilai keberagamaan
inklusif di sekolah. Adapun peran guru di sini, meliputi; pertama, seorang guru
harus mampu bersikap demokratis, baik dalam sikap maupun perkataannya tidak diskriminatif.
Kedua, guru seharusnya mempunyai kepedulian yang tinggi terhadap
kejadian-kejadian tertentu yang ada hubungannya dengan agama. Misalnya, ketika
terjadi bom Bali (2003), maka seorang guru yang berwawasan multikultural harus
mampu menjelaskan keprihatinannya terhadap peristiwa tersebut. Ketiga, guru
seharusnya menjelaskan bahwa inti dari ajaran agama adalah menciptakan
kedamaian dan kesejahteraan bagi seluruh ummat manusia, maka pemboman, invasi
militer, dan segala bentuk kekerasan adalah sesuatu yang dilarang oleh agama.
Keempat, guru mampu memberikan pemahaman tentang pentingnya dialog dan
musyawarah dalam menyelesaikan berbagai permasalahan yang berkaitan dengan
keragaman budaya, etnis, dan agama.
Dalam kajian ini penulis mengangkat tentang
multicultural di tengah tengah masyarakat yang berdomisi di daerah Berastagi
Kab. Karo Sumatera Utara.
B.
Adat Istiadat Karo
1.
Marga Marga Karo
Suku Karo memiliki sistem kemasyarakatan
atau adat yang dikenal dengan nama merga silima, tutur siwaluh, dan rakut
sitelu. Masyarakat Karo mempunyai sistem marga (klan). Marga atau dalam bahasa
Karo disebut merga tersebut disebut untuk laki-laki, sedangkan untuk perempuan
yang disebut beru. Merga atau beru ini disandang di belakang nama seseorang.
Merga dalam masyarakat Karo terdiri dari lima kelompok, yang disebut dengan
merga silima, yang berarti marga yang lima. Kelima merga tersebut adalah:
a.
Karo
– Karo.
b.
Tarigan.
c.
Ginting
d.
Sembiring
e.
Perangin
– angin.
Kelima merga ini masih mempunyai submerga
masing-masing. Setiap orang Karo mempunyai salah satu dari merga tersebut.
Merga diperoleh secara otomatis dari ayah. Merga ayah juga merga anak. Orang
yang mempunyai merga atau beru yang sama, dianggap bersaudara dalam arti
mempunyai nenek moyang yang sama. Kalau laki-laki bermarga sama, maka mereka
disebut ersenina, demikian juga antara perempuan dengan perempuan yang
mempunyai beru sama, maka mereka disebut jugaersenina. Namun
antara seorang laki-laki dengan perempuan yang bermerga sama, mereka disebut erturang,
sehingga dilarang melakukan perkawinan, kecuali pada merga Sembiring dan
Peranginangin ada yang dapat menikah diantara mereka.
Bahasa Batak Karo adalah bentuk bahasa
Austronesia Barat yang digunakan di daerah Pulau Sumatera sebelah utara pada wilayah
Kepulauan Indonesia.[1]
Istilah “Batak” sendiri mengacu pada sekumpulan kelompok yang memiliki
kaitan secara kultural yang mendiami sebagian besar wilayah pedalaman Provinsi
Sumatera Utara yang berpusat di daerah Danau Toba.[2]
Tiap-tiap kelompok ini memiliki riwayat, tatanan sosial, serta bahasa yang khas
satu sama lain.
Masyarakat Batak Karo sendiri bermukin
di wilayah sebelah barat laut Danau Toba yang mencakup luas wilayah sekitar
5.000 kilometer persegi yang secara astronomis terletak sekitar antara 3′ dan
3’30″ lintang utara serta 98′ dan 98’30″ bujur timur. Wilayah Tanah Karo
tersusun atas dua wilayah utama sebagai berikut:
Dataran tinggi Tanah Karo, yang mencakup
seluruh wilayah Kabupaen Karo dan pusat administratifnya di kota Kabanjahe.
Wilayah dataran tinggi Tanah Karo ini menjorok ke selatan hingga masuk ke
wilayah Kabupaten Dairi (khususnya Kecamatan Taneh Pinem dan Tiga Lingga),
serta ke arah timur masuk ke bagian wilayah Kecamatan Si Lima Kuta yang
terletak di Kabupaten Simalungun. Masyarakat Karo menyebut wilayah pemukiman
dataran tinggi ini dengan nama Karo Gugung.
Dataran rendah Tanah Karo yang mencakup
wilayah-wilayah kecamatan dari Kabupaten Langkat dan Kabupaten Deli Serdang
yang terletak pada bagian ujung selatan secara geografis ( namun tertinggi
secara topografis). Wilayah ini dimulai dari plato Tanah Karo yang membentang
ke bawah hingga mencapai sekitar kampung-kampung Bahorok, Namo Ukur, Pancur
Batu, dan Namo Rambe yang ada di sebelah utara, serta Bangun Purba, Tiga Juhar,
dan Gunung Meriah di sisi timur. Masyarakat Karo menyebut daerah ini dengan
nama Karo Jahe (Karo Hilir).
Wilayah dataran tinggi Tanah Karo
dianggap sebagai pusat kebudayaan dan tanah asli nenek moyang masyarakat Batak
Karo. Di wilayah ini, bahasa tidak banyak tersentuh oleh pengaruh-pengaruh luar
dan ikatan kekerabatan serta kehidupan tradisional masih terpelihara sangat
kuat. Kebanyakan masyarakat dataran tinggi Karo hidup dari bercocok tanam
kecil-kecil dengan menanam padi dan sayur-sayuran untuk konsumsi sehari-hari
serta berbagai tanam-tanaman komersial untuk kebutuhan pasar domestik dan
ekspor.
Wilayah pemukinan dataran rendah yang
ada di Kabupaten Langkat dan Kabupaten Deli Serdang umumnya lebih terorientasi
pada produksi tanam-tanaman budidaya seperti karet dan kelapa sawit. Wilayah
dataran rendah Karo ini lebih banyak menyerap pengaruh masyarakat Melayu
pesisir yang pada umumnya menganut agama Islam dan terkadang mengharuskan
mereka menyisihkan nama marga mereka sehingga hubungan kekerabatan dengan
sanak-saudara mereka di dataran tinggi jadi terputus.
Selain kefasihan dalam berbahasa Karo,
ciri identitas terpenting seorang Karo dapat diketahui dari nama marga yang
bersangkutan. Orang-orang Karo memiliki lima macam klan patrilineal atau marga,
yaitu Karo-karo, Ginting, Tarigan, Sembiring, dan Peranginangin. Tiap-tiap
marga ini terpecah lagi menjadi 13 hingga 18 submarga, sehingga secara
keseluruhan dapat dijumpai sbanyak 83 submarga[3].
Seluruh marga dan submarga ini merupakan nama-nama khas yang ada pada
masyarakat Karo, namu sering juga tampak memiliki keterkaitan dengan nama-nama
marga dari kelompok masyarakat suku-suku Batak lain, khususnya masyarakat Batak
Simalungun dan Batak Pakpak. Identitas dan subetnis orang Batak ini pada
umumnya dapat langsung diketahui dari nama marganya, misal marga Tarigan dan
Sembiring adalah marga khas Batak Karo, nama Saragih dan Damanik adalah
marga khas Batak Simalungun, nama Bancin dan Berutu adalah marga khas Batak
Pakpak, dan sebagainya. Dalam hal ini terdapat juga nama-nama marag yang sama
dari asal subetnis Batak lain, maka nama-nama tertentu semacam ini biasanya
selalu disebutkan berikut dengan subetnisnya pada saat memperkenalkan diri
dengan anggota subentis Batak lain, misalnya “Saya Purba Karo” atau “Saya Purba
Simalungun”. Seseorang yang berasal dari luar masyarakat Karo yang hendak
bergabung ke dalam masyarakat Karo juga diberikan nama marga patrilineal atau
matrilineal Karo karena tanpa memiliki acuan identitas sosial semacam ini yang
bersangkutan mustahil berinteraksi dalam acara-acara penting di luar batas
kegiatan sehari-hari.
Istilah “Batak” umumnya tidak digunakan
pada saat mereka saling memperkenalkan diri satu sama lain kecuali jika mereka
sedang memperkenalkan diri mereka dengan orang-orang dari etnis lain (Sunda,
Jawa, dll). Di kalangan masyarakat mereka maupun subetnis Batak lain biasanya
mereka menyebut diri mereka sendiri sebagai “kalak Karo” atau orang
Karo. Sedangkan bahasa asli Karo mereka sebut sebagai “cakap Karo” atau
“bahasa Karo“. Berbeda halnya dengan kaum masyarakat Batak Pakpak
dan Batak Simalungun yang bertetangga dengan mereka, masyarakat Karo belum
begitu banyak terpengaruh oleh bahasa dan budaya masyarakat Batak Toba. Selain
dari kaum anak-anak dan kaum usia lanjut, orang-orang Karo umumnya juga mempergunakan
bahasa Indonesia sebagai bahasa resmi di Indonesia.
2.
Daliken
sitelu
Teori
yang dipergunakan adalah teori pengendalian sosial dan nilai budaya yang
dominan didalam daliken si telu.
Pengendalian
sosial adalah suatu proses, baik yang direncanakan atau tidak direncanakan yang
bertujuan untuk mengajak, membimbing atau bahkan memaksa warga masyarakat agar
mematuhi nilai-nilai dan kaidah-kaidah yang berlaku. Pada prinsipnya
pengendalian sosial terjadi apabila suatu kelompok menentukan tingkah laku kelompok
lain, apabila kelompok mengendalikan prilaku kelompoknya, atau kalau
pribadi-pribadi mempengaruhi tingkah laku pihak lain, baik apabila hal itu
sesuai dengan kehendaknya atau tidak. Maka pengendalian sosial adalah suatu
sarana yang ada dalam masyarakat untuk mempengaruhi, untuk mengkontrol semua
tingkah laku warganya ketika akan bersosialisasi. Melalui sosialisasi ini,
setiap warga masyarakat akan dituntun kearah sikap tunduk dan patuh pada
norma-norma, nilai-nilai budaya, aturan yang ada atau yang dikehendaki oleh
masyarakat. Tujuan pengendalian sosial terutama untuk mencapai keserasian
antara stabilitas dengan perubahan-perubahan yang terjadi dalam masyarakat, dan
untuk mencapai keadaan damai melalui keserasian antara kepastian dengan
keadilan/keseimbangan.
Daliken
si telu adalah bagian dari masyarakat Karo yang
merupakan landasan bagi sistem kekerabatan dan semua kegiatan khususnya
kegiatan yang bertalian dengan pelaksanaan adat-istiadat dan interaksi antar
pada Masyarakat Karo. Daliken si telu ini didukung oleh tiga aktor yang
dikenal dengan kalimbubu, sembuyak/senina, dan anak beru. Hal ini maka
setiap individu Karo terikat kepada daliken si telu. Melalui daliken si telu
masyarakat Karo saling berkerabat, baik berkerabat karena hubungan darah
(seketurunan), maupun berkerabat karena hubungan perkawinan. Adapun nilai-nilai
yang dominan yang terdapat didalam daliken si telu adalah nilai gotong
royong dan kekerabatan.
Seperti
telah dikemukakan bahwa pengendalian sosial terjadi apabila suatu kelompok menentukan
tingkah laku kelompok lain, kelompok mengendalikan prilaku anggotanya, atau
kalau pribadi-pribadi mempengaruhi tingkah laku pihak lain. Dengan kata lain,
pengendalian terjadi apabila seseorang diajak atau dipaksa untuk bertingkah
laku sesuai dengan keinginan pihak lain, baik apabila hal itu sesuai dengan
kehendaknya maupun tidak, dan pengendalian sosial juga merupakan suatu kekuatan
untuk mengorganisir tingkah laku sosial budaya, sehingga pengendalian sosial
mempunyai kekuatan yang membimbing manusia. Sedangkan adat istiadat tumbuh dan
berkembang berdasarkan kebutuhan masyarakat yang nyata, yang berisi norma-norma
yang telah berlaku sepanjang masa walau pun sama sekali tidak mempunyai alat
memaksa seperti hukum, norma-norma tetap diwariskan
secara turun temurun sehingga merupakan sesuatu yang harus dipatuhi, ketika
menyelenggarakan kepentingan bersama. Adat istiadat mengandung makna hukum yang
memiliki fungsi pengatur, penertib dan pengaman kehidupan masyarakat, juga
sebagai penggerak dan pendorong pembangunan, dan perubahan menuju masyarakat
yang dicita-citakan.
Dalam hal ini
hubungan daliken si telu dengan pengendalian sosial jelas. Didalam
“tubuh” daliken si telu ada dua unsur, pertama adalah sistem sosial yang
bersifat terbuka yaitu kalimbubu, sembuyak/senina, dan anak beru.
Seseorang berkedudukan sebagai kalimbubu bargantung kepada situasi dan kondisi,
demikian sebaliknya. Ini berhubungan dengan manusia sebagai subjek dan objek.
Unsur kedua adalah psiko budaya, ini berhubungan dengan nilai, nilai ini
berfungsi sebagai alat untuk mengendalikan, untuk mengikat aktor yang tiga
tersebut dalam jaringan kekerabatan. Jadi, memahami hubungan daliken si telu
melalui pendekatan pengendalian sosial adalah memahami bagaimana caraberpikir
dan cara bertindak aktor yang tiga (kalimbubu, sembuyak/senina, dan anak
beru), baik secara kelompok (kalimbubu, sembuyak/senina, anak beru), maupun
secara pribadi, berdasarkan nilai kekerabatan, kebersamaan dan gotong royong
yang dilandasi nilai kasih sayang, untuk mengajak, mengarahkan, membina,
membimbing atu bahkan memaksa warga masyarakat Karo agar mau mematuhi
nilai-nilai dan kaidah-kaidah adat istiadat karo.
Hasil yang
ditemukan menunjukkan bahwa daliken si telu sebagai bagian dari budaya
Karo, tetap berperan penting. Bahkan bila muncul masalah-masalah sosial didalam
keluarga masyarakat Karo, masalah itu baru dikatakan tuntas, selesai, dan sah,
bila daliken si telu pihak bermasalah ikut berpartisipasi
menyelesaikannya. Jalan keluar yang ditawarkan daliken si telu bervariasi,
bergantung kepada masalah yang muncul. Sebagai contoh misalnya masalah
penyimpangan dalam perkawinan, bila salah seorang calon pengantin bukan berasal
dari etnis Karo, pihak daliken si telu calon pengantin yang beretnis Karo,
selalu menyarankan agar calon pengantin etnis non Karo tersebut disyahkan
menjadi “orang Karo” yaitu diberikan klen (merga/beru), dan sekaligus diberikan
orang tua adatnya. Peranan orang tua adat dalam bidang-bidang tertentu (diluar
adat istiadat karo) sama dengan orang tua kandungnya, tetapi dalam
bidang-bidang tertentu (didalam adat istiadat karo) jelas jauh melebihi orang
tua kandungnya yang bukan berasal dari etnis karo. Pemberian klen ini bukan
bertujuan untuk mengkaronisasikan etnis non karo yang ingin berjodoh dengan
etnis Karo, tetapi bertujuan agar mekanisme daliken si telu tetap berfungsi
semestinya, dengan demikian hubungan kekerabatan dengan keluarga pihak impal
(calon suami atau istri menurut adat istiadat karo) dari etnis karo yang
kebetulan menikah dengan non karo tetap terjalin erat. Keuntungan lain adalah,
bila muncul masalah-masalah sosial dalam keluarga pembauran ini, dia dapat
memilih mau diselesaikan berdasarkan jalur hukum negara yang berlaku boleh,
diselesaikan sesuai dengan hukum adat karo juga boleh. Kepada yang bermasalah
tinggal memilih, jalur mana yang hendak dipergunakan. Keuntungan lain dengan
pemberian klen ini, khususnya bila calon pengantin itu wanita, bila kelak
suaminya meninggal dunia, dia berhak mewarisi tanah adat yang ada dimiliki
suaminya. Keuntungan lain adalah kedudukan orang yang diberi klen (marga/beru)
menjadi jelas dalam struktur adat Karo. Anak-anak yang dilahirkan dari keluarga
pembaruan ini, kedudukannya sama didalam adat dengan keluarga yang kedua orang
tuanya sama-sama satu etnis. Berhak mendapat pelayanan berdasarkan adat
istiadat karo. Sedangkan kerugiannya (a). bagi wanita non karo yang menikah
dengan pria karo, si wanita tidak mempunyai beru, maka keluarganya tidak
mempunyai kalimbubu sierkimbang, dan anaknya tidak mempunyai kalimbubu daerah
berdasarkan konsep daliken si telu, karena anak-anaknya yang dilahirkan
tidak mempunyai kalimbubu daerah, dia tidak berhak mendapatkan harta
warisanadat hal ini karena pembagian harta warisan ada melibatkan pihak daliken
si telu. Bila ada acara-acara adat Karo, tidak ada yang mengosei
(meminjamkan dan memakaikan pakaian adat) kepada suaminya. Bila timbul sengketa
didalam keluarga yang mereka bina, tidak dapat diselesaikan menurut adat
istiadat (Karo). Bila ada acara-acara adat, si istri (wanita) menjadi canggung
karena tidak mengetahui dimana posisinya dalam acara adat tersebut, kalaupun
tahu posisinya, tetap tidak sah menurut adat istiadat Karo. Kalau si istri
meninggal dunia, dia tidak berhak dimakamkan dipekuburan keluarga suaminya,
demikian pula anak-anak yang dilahirkannya. Si istri tidak berhak mengelola
harta warisan marga suaminya, demikian pula dengan anak-anak yang dilahirkannya
walaupun mereka memiliki anak laki-laki. Kerugian bagi anak kandungnya, anak
kandungnya tidak mempunyai marga/beru dalam struktur adat Karo, si anak tidak
memiliki struktur yang lengkap menurut adat karo, apakah sebagai kalimbubu,
anak beru, senina/sembuyak. (b). bagi pria non karo yang menikah dengan wanita
karo, bila timbul sengketa dalam rumah tangga mereka, tidak dapat diselesaikan
menurut adat istiadat Karo, bila ada acara-acara adat dalam keluarga istrinya
si suami akan menjadi canggung karena tidak mengetahui posisinya dalam acara
adat tersebut, kalaupun tahu posisinya, tetap tidak sah menurut adat istiadat karo,
si pria tidak mempunyai klen (marga), maka keluarga yang mereka bina
tidak mempunyai anak beru berdasarkan daliken si telu. Demikian pula
dengan anak-anak yang mereka lahirkan tidak mempunyai anak beru berdasarkan
adat istiadat karo. Bagi anak kandungnya, anak kandungnya tidak mempunyai anak
beru dalam struktur adat Karo, si anak tidak memiliki struktur yang lengkap
dalam adat karo, apakah sebagai kalimbubu, anak beru, sembuyak/senina.
Pemberian klen ini sifatnya seumur hidup untuk wanita, karena begitu siwanita
meninggal dunia, klen yang diterimanya tidak dapat diwariskan kepda anak-anak
yang dilahirkannya. Berbeda dengan pria selamanya (abadi), hal ini disebabkan
masyarakat Karo berdasarkan sistem patrilineal, pria yang menurunkan garis
keturunan. Bila kepada seorang pria telah diberikan klen, klen yang
telah diterimanya, dapat disandang (diwariskan) sampai ke anak cucunya, dengan
tetap bersandarkan sistem kekerabatan orang yang memberinya klen tersebut.
Pembagian harta warisan didasarkan
kepada nilai patrilineal yaitu harta warisan yang tidak bergerak diwariskan
kepada anak laki-laki sebagai penerus generasi keluarga. Konflik diselesaikan
berdasarkan semangat kekerabatan dan persaudaraan. Suka duka dihadapi dengan
nilai atau semangat gotong royong dan persaudaraan.[4]
3.
Penerimaan masyarakat Terhadap agama dan suku yang berbeda.
Masyarakat Karo khususnya di Berastagi memeluk
berbagai agama yakni, Kristen Protestan , Katolik, Islam, Hindu dan Budha. Dari
lima agama tersebut yang dominan penganutnya adalah Kristen yang dikenal dengan
dalam kelompok GBKP ( Geraja Batak Karo Protestan). Sedangkan Islam merupakan
kelompok minoritas.
Disamping masyarakat asli Karo, juga banyak
masyarakat pendatang yang terdiri dari suku Mandailing, Batak Toba, Simalungun,
Pakpak, Padang, Jawa, Aceh, dan lain-lain.
Mereka hidup rukun tanpa pernah mempersoalkan agama dan suku. Hal ini
dapat dilihat dalam kebiasaan hidup sehari – hari. Apabila ada acara pesta
perkawinan, maka semua kelurga dan sahabat dari berbagai suku saling mengundang
satu sama lain. Yang penting antara satu sama lain saling mengerti dan memahami
perbedaan sehingga tercipta kerukunan. Kunci kerukunan tersebut antara lain:
1.
Tidak membicarakan agama antara
sesama selain di tempat tempat tertentu, yakni pengajian dan mesjid, begitu
juga Kristen mereka akan membicarakan
agama di tempat perkumpulan mereka dan di gereja.
2.
Bila yang melaksanakan pesta
beragama Kristen, maka acara makan dilaksanakan dengan do’a agama Kristen. Dan
apabila yang pesta beragama Islam maka acara makan dilakukan dengan doa Islami.
3.
Dalam acara adat hanya bercerita
tentang adat istiadat, baik bertutur kata atau dalam perkenalan antara sesama suku atau lain suku
sehingga memunculkan keakraban antar sesama.
C. Penutup
Dari
tulisan tersebut dapat disimpulkan bahwa Karo merupakan salah satu daerah yang
memiliki suku tersendiri dengan system budaya yang berbeda dengan daerah lain.
Masyarakat karo memandang adat istiadat merupakan hal yang terpenting. Oleh
karena itu siapa saja yang berdomisili di Kabupaten Karo bila mengikuti adat
tersebut, maka mendapatkan rasa aman dan nyaman walaupun dari daerah lain
dengan suku yang berbeda. Sedangkan agama yang dianut masyarakat Karo beraneka
ragam. Dan hal ini tidak pernah diperbincangkan apabila bertemu dengan sesama
kecuali di tempat perkumpulan agama dan di rumah ibadah. Hal ini membuat
masyarakat Karo hidup rukun antara sesama, baik sesama suku karo maupun dengan
suku pendatang.
Demikian
tulisan ini semoga bermanfaat bagi kita semuanya, bila terdapat kekurangan dan
kelemahan meruapakan kelemahan saya sebagai penulis dalam mencari referensi
pendukung dalam pembuatan tulisan ini.
DAFTAR
PUSTAKA
Dyen, Isidore, A lexicostatistical classifcation of the
Austronesian Languages. International Journal of American Linguistics 31, memoir
19.1965
Viner, A.C., The Changing Batak. Journal of the Malaysian
Branch of Royal Asiatic Society ,1979
Singarimbun, Masri, Kinship, descent and alliance among
Karo Batak, Berkeley: University of California Press.1975.
Tamboen, P., Adat Istiadat Karo. Djakarta: Balai
Pustaka.1952
Priest Darwin, SH, Budaya Karo, Bina Media Printis,
Medan 2000
Sitepu Sempa, dkk. Pilar Budaya Karo, BALI scan,
Medan
[1] Dyen,
Isidore, 1965, A lexicostatistical classifcation of the Austronesian Languages.
International Journal of American Linguistics 31, memoir 19
[2] Viner, A.C., 1979, The Changing Batak. Journal of the
Malaysian Branch of Royal Asiatic Society 52:84-112.
[4]
e-USU Repository ©2004 Universitas Sumatera Utara