oleh
Drs. Jasa Fadilah Ginting
BAB I
PENDAHULUAN
Renovasi ilmu pengetahuan dan tekhnologi, perubahan masyarakat, pemahaman cara belajar anak, kemajuan media komunikasi dan informasi dan lain sebagainya member arti tersendiri bagi kegiatan pendidikan. Akibat perkembangan tersebut menjadikan sebuah tantangan bagi dunia pendidikan, untuk mempersiapkan diri dalam hal kegiatan Proses belajar mengajar, dan salah satunya adalah media pembelajaran.
Media adalah segala sesuatu yang dapat digunakan untuk menyalurkan pesan dari pengirim ke penerima sehingga dapat merangsang pikiran, perasaan, perhatian, dan minat serta perhatian siswa sedemikian rupa sehingga proses belajar mengajar terjadi. Jadi, media dirancang sedemikaian rupa agar dapat menarik perhatian siswa sehingga siswa dapat dengan mudah memahami pelajaran yang disampaikan oleh guru mereka.
Sekarang ini, sudah banyak sekali media yang digunakan dalam proses pembelajaran. Ada yang berbentuk cetakan, audio, audio visual, juga Tekhnologi komputer. Walaupun demikian, masih banyak juga yang hanya menggunakan teknik yang kuno, misalnya dengan cara lisan, atau bahkan hanya dengan menyuruh para siswa membaca sendiri buku atau mencarinya sendiri dari sumber-sumber lain.
Media berasal dari bahasa latin merupakan bentuk jamak dari “Medius” yang secara harfiah berarti “tengah, perantara atau “Pengantar” yaitu perantara atau pengantar sumber pesan dengan penerima pesan. Beberapa ahli memberikan definisi tentang media pembelajaran. Schramm (1977) mengemukakan bahwa media pembelajaran adalah teknologi pembawa pesan yang dapat dimanfaatkan untuk keperluan pembelajaran. Sementara itu, Briggs (1977) berpendapat bahwa media pembelajaran adalah sarana fisik untuk menyampaikan isi/materi pembelajaran seperti : buku, film, video dan sebagainya. Sedangkan, National Education Associaton (1969) mengungkapkan bahwa media pembelajaran adalah sarana komunikasi dalam bentuk cetak maupun pandang-dengar, termasuk teknologi perangkat keras. Dari ketiga pendapat di atas disimpulkan bahwa media pembelajaran adalah segala sesuatu yang dapat menyalurkan pesan, dapat merangsang fikiran, perasaan, dan kemauan peserta didik sehingga dapat mendorong terciptanya proses belajar pada diri peserta didik.
Brown (1973) mengungkapkan bahwa media pembelajaran yang digunakan dalam kegiatan pembelajaran dapat mempengaruhi terhadap efektivitas pembelajaran. Pada mulanya, media pembelajaran hanya berfungsi sebagai alat bantu guru untuk mengajar yang digunakan adalah alat bantu visual. Sekitar pertengahan abad Ke –20 usaha pemanfaatan visual dilengkapi dengan digunakannya alat audio, sehingga lahirlah alat bantu audio-visual. Sejalan dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi (IPTEK), khususnya dalam bidang pendidikan, saat ini penggunaan alat bantu atau media pembelajaran menjadi semakin luas dan interaktif, seperti adanya komputer dan internet.
Media pembelajaran adalah penyalur atau penghubung pesan ajar yang diadakan dan/atau diciptakan secara terencana oleh para guru ataua pendidik. Berdasarkan pemahaman tersebut, guru tidaklah dipahami sebagai satu-satunya sumber belajar, tetapi dengan posisinya sebagai peran penggiat, ia pun harus mampu merencanakan dan menciptakan sumber-sumber belajar lainnya sehingga tercipta lingkungan belajar yang kondusif. Disinilah penulis akan memafarkan media pembelajaran dalam bentuk audio-visual yang memanfaatkan pendengaran dan penglihatan. Dengan tulisan ini diharapkan para guru dapat bekerja semakin semangat sehingga tujuan pembelajaran dalam tiap bidang studi dapat tercapai.
BAB II
PENGEMBANGAN MEDIA AUDIO – VISUAL
DALAM PEMBELAJARAN
A. Karakteristik Media Audio-Visual Dalam Pembelajaran
Rudy Bretz mengklasifikasi media menurut ciri utama media menjadi tiga unsur, yaitu suara, visual, dan gerak. Selanjutnya, klasifikasi tersebut dikembangkan menjadi tujuh kelompok, yaitu:
1. Media audio-visual-gerak; merupakan media paling lengkap karena menggunakan kemampuan audio-visual dan gerak.
2. Media audio-visual-diam; memiliki kemampuan audio-visual tanpa kemampuan gerak.
3. Media audio-semi-gerak; menampilkan suara dengan disertai gerakan titik secara linear dan tidak dapat menampilkan gambar nyata secara utuh.
4. Media visual-gerak; memiliki kemampuan visual dan gerakan tanpa disertai suara.
5. Media visual-diam; memiliki kemampuan menyampaikan informasi secara visual tetapi tidak menampilkan suara maupun gerak.
6. Media audio; media yang hanya memanipulasi kemampuan mengeluarkan suara saja.
7. Media cetak; media yang hanya mampu menampilkan informasi berupa huruf-huruf dan simbol-simbol verbal tertentu saja.
Selanjutnya, Rahardjo mengklasifikasi media pengajaran sebagai berikut:
Daftar Kelompok Media Pengajaran
No. Kelompok Media Jenis Media
1 Audio - pita audio (rol ataun kaset)
- piringan audio
- radio (rekaman siaran)
2 Cetak - buku teks terprogram
- buku pegangan (manual)
- buku tugas
3 Audio-cetak - buku latihan dilengkapi kaset atau pita audio
- pita, gambar, bahan dengan suara pita audio
4 Proyeksi visual diam - film bingkai (slide)
- film rangkai (berisi pesan verbal)
5 Proyeksi visual-diam dengan audio - film bingkai (slide)
- film rangkai dengan suara
6 Visual gerak - film bisu dengan judul (caption)
7 Visual gerak dengan audio - film suara
- video
8 Benda - benda nyata
- model tiruan
9 Manusia dan sumber lingkungan -
10 Komputer - program pembelajaran terkomputer
Sumber: Rahardjo (1986:71)
Pemilihan maupun penggunaan media tersebut didasarkan pada prinsip yang telah dikemukakan oleh Rahardjo dan Miarso sebagaimana dijabarkan pada bagian sebelumnya.
Sekalipun efektivitas dan efisiensi media tidak dapat diragukan lagi dalam pengajaran di kelas, pertimbangan lain yang tidak kalah pentingnya adalah faktor aksesibilitas (accessibility) yang menyangkut apakah media tersebut dapat diakses atau diperoleh dengan mudah atau tidak. Hal ini penting mengingat sejumlah media tidak dapat diperoleh karena mahalnya biaya yang harus dikeluarkan. Selain itu, di daerah terpencil, sejumlah media terkadang sulit didapat karena terbatasnya fasilitas transportasi yang tersedia di daerah tersebut, di samping persoalan lainnya, misalnya keamanan, perawatan, dan sebagainya. Sementara itu, dana bantuan dari pemerintah terkadang tidak mampu mengatasi itu semua.
Untuk mengatasi masalah ini, guru hendaknya benar-benar dapat mempertimbangkan kegunaan maupun aksesibilitas media tersebut. Jika suatu media tidak dapat diakses karena alasan tertentu, guru hendaknya mencari dan menemukan alternatif lainnya, misalnya dengan memproduksi sendiri suatu media menurut sarana yang dimilikinya. Hal semacam ini memang memungkinkan untuk dilakukan karena, menurut Rahardjo , media dibedakan menjadi dua macam menurut criteria aksesibilitasnya, yaitu:
a. Media yang dimanfaatkan (media by utilization), artinya media yang biasanya dibuat untuk kepentingan komersial yang terdapat di pasar bebas. Dalam hal ini, guru tinggal memilih dan memanfaatkannya, walaupun masih harus mengeluarkan sejumlah biaya.
b. Media yang dirancang (media by design) yang harus dikembangkan sendiri. Dalam hal ini, guru dituntut untuk mampu merancang dan mengembang sendiri media tersebut sesuai dengan sarana dan kelengkapan yang dimilikinya.
Hal terpenting yang harus dilakukan dalam inovasi dan pengembangan media pengajaran adalah bagaimana upaya yang harus dilakukan guna menanamkan sikap inovatif pada guru dan lembaga pendidikan, sebagaimana dinyatakan Wijaya dkk , Upaya ini tentu saja harus dilakukan secara terus menerus agar terjadi kesinambungan dalam inovasi dan pengembangan media. Motivasi dan jiwa inovatif guru hendaknya terpelihara, misalnya melalui pelatihan motivasi maupun pengembangan media pengajaran. Selain itu, dukungan lembaga secara kolektif, dalam hal ini kepala sekolah dan korps guru, diperlukan agar mampu menjadi penyemangat guru. Dukungan fasilitas dari pemerintah juga dapat membantu.
B. Fungsi dan Peran Media Audio Visual Dalam Pembelajaran.
Adapun media pembelajaran memiliki beberapa fungsi, diantaranya :
1. Media pembelajaran dapat mengatasi keterbatasan pengalaman yang dimiliki oleh para peserta didik. Pengalaman tiap peserta didik berbeda-beda, tergantung dari faktor-faktor yang menentukan kekayaan pengalaman anak, seperti ketersediaan buku, kesempatan bertamasya, dan sebagainya. Media pembelajaran dapat mengatasi perbedaan tersebut. Jika peserta didik tidak mungkin dibawa ke obyek langsung yang dipelajari, maka obyeknyalah yang dibawa ke peserta didik ke dalam kelas. Obyek dimaksud bisa dalam bentuk nyata, miniatur, model, maupun bentuk gambar – gambar yang dapat disajikan secara audio visual dan audial.
2. Media pembelajaran dapat melampaui batasan ruang kelas. Banyak hal yang tidak mungkin dialami secara langsung di dalam kelas oleh para peserta didik tentang suatu obyek, yang disebabkan, karena :
a. obyek terlalu besar
b. obyek terlalu kecil
c. obyek yang bergerak terlalu lambat
d. obyek yang bergerak terlalu cepat
e. obyek yang terlalu kompleks
f. obyek yang bunyinya terlalu halus
g. obyek mengandung berbahaya dan resiko tinggi.
3. Media pembelajaran memungkinkan adanya interaksi langsung antara peserta didik dengan lingkungannya.
4. Media menghasilkan keseragaman pengamatan
5. Media dapat menanamkan konsep dasar yang benar, konkrit, dan realistis.
6. Media membangkitkan keinginan dan minat baru.
7. Media membangkitkan motivasi dan merangsang anak untuk belajar.
8. Media memberikan pengalaman yang integral dari yang konkrit sampai dengan abstrak
Adapun peran media pembelajaran adalah sebagai berikut:
1. Media pembelajaran pada hakikatnya merupakan penyalur pesan-pesan pembelajaran yang disampaikan oleh sumber pesan (guru) kepada penerima pesan (siswa) dengan maksud agar pesan-pesan tersebut dapat diserap dengan cepat dan tepat sesuai dengan tujuannya.
2. Pemahaman terhadap konsep media pembelajaran tidak terbatas hanya kepada peralatan (hardware), tetapi yang lebih utama yaitu pesan atau informasi (software) yang disajikan melalui peralatan tersebut. Dengan demikian konsep media pembelajaran itu mengandung pengertian adanya peralatan dan pesan yang disampaikannya dalam satu kesatuan yang utuh.
3. Guru dapat lebih mengefektifkan pencapaian tujuan pembelajaran melalui penggunaan media secara optimal, sebab media ini memiliki fungsi, nilai dan peranan yang sangat menguntungkan, terutama sekali mengurangi terjadinya verbalisme (salah penafsiran) terhadap bahan ajar yang disampaikan pada diri siswa.
4. Ada tiga jenis media pembelajaran yang perlu dipahami oleh para guru, yaitu media visual, media audio, dan media audio-visual. Dari masing-masing jenis media tersebut terdapat berbagai bentuk media yang dapat dikembangkan dalam kegiatan belajar-mengajar. Media mana yang akan digunakan tergantung kepada tujuan yang ingin dicapai, sifat bahan ajar, ketersediaan media tersebut, dan juga kemampuan guru dalam menggunakannya.
5. Setiap media memiliki karakteristik (kelebihan dan keterbatasan), oleh karena itu tidak ada media yang dapat digunakan untuk semua situasi atau tujuan.
Alat pandang dengar atau audio visual yaitu media pengajaran dan media pendidikan yang mengaktifkan mata dan telinga peserta didik dalam waktu proses belajar mengajar yang berlangsung.
C. Pengembangan Media Audio-Visual Dalam Praktek Pembelajaran
Peran guru dalam inovasi dan pengembangan media pengajaran sangat diperlukan mengingat guru dapat dikatakan sebagai pemain yang sangat berperan dalam proses belajar mengajar di kelas, yang hendaknya dapat mengolah kemampuannya untuk membuat media pengajaran lebih efektif dan efisien. Hal ini, menurut Wijaya dkk , disebabkan perkembangan jaman yang terus terjadi tanpa henti dengan kurun waktu tertentu. Lembaga pendidikan hendaknya tidak hanya puas dengan metode dan teknik lama, yang menekankan pada metode hafalan, sehingga tidak atau kurang ada maknanya jika diterapkan pada masa sekarang. Perkembangan jaman yang begitu pesat dewasa ini membuat siswa semakin akrab dengan berbagai hal yang baru, seiring dengan perkembangan dunia informasi dan komunikasi. Karena itu, sangat wajar jika kondisi ini harus diperhatikan oleh guru agar terus mengadakan pembaharuan (inovasi).
Pembaharuan atau inovasi dalam dunia kependidikan sering diartikan sebagai suatu upaya lembaga pendidikan dalam menjembatani masa sekarang dan masa yang akan datang dengan cara memperkenalkan program kurikulum atau metodologi pengajaran yang baru sebagai jawaban atas perkembangan internal dan eksternal dalam dunia pendidikan yang cenderung mengejar efisiensi dan efektivitas.
Pada lembaga pendidikan, faktor yang menjadi penentu keberhasilan tujuan pendidikan adalah guru. Hal ini ditegaskan oleh Samana bahwa guru merupakan faktor utama dalam usaha meningkatkan mutu pendidikan sekolah yang pada gilirannya akan sangat mempengaruhi kemajuan masyarakat yang menjadi suprasistem sekolah yang bersangkutan. Masyarakat yang semakin rasional dan teknologis semakin membutuhkan jasa sekolah dan atau guru yang bermutu.
Terkait dengan inovasi di bidang media pengajaran, mutu guru akan dapat ditentukan dari seberapa jauh atau kreatif ia dalam pengembangan dan inovasi media pengajaran. Hal ini akan sangat membantu tugasnya sebagai profesional. Menurut Sudarminto , guru yang profesional yaitu guru yang tahu secara mendalam tentang apa yang diajarkannya secara efektif dan efisien. Lebih lanjut Departemen Pendidikan dan Kebudayaan (sekarang menjadi Departemen Pendidikan Nasional) melalui Proyek Pengembangan Pendidikan Guru (P3G) telah merumuskan bahwa kompetensi profesional guru menuntut seorang guru untuk memiliki pengetahuan yang luas serta mendalam tentang bidang studi (subject matter) yang diajarkannya beserta penguasaan metodologis, dalam arti memiliki pengetahuan konsep teoritis, mampu memilih metode yang tepat, serta mampu menggunakannya dalam proses belajar-mengajar. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa kemampuan guru dalam mengembangkan dan melakukan pembaharuan media pengajaran merupakan salah satu indikator kompetensi profesionalnya.
Konsekuensi yang harus diperhatikan adalah bahwa sikap statis (tidak kreatif) dan cara-cara yang konvensional semua pihak yang terlibat dalam dunia kependidikan, terutama guru, hendaknya dihilangkan. Guru harus aktif mencari dan mengembangkan sistem pendidikan yang terbuka bagi inovasi teknologi media pengajaran. Dalam hal ini, penanaman sikap inovatif pada guru sangat penting dilakukan .
Terkait dengan semakin beragamnya media pengajaran, pemilihan media hendaknya memperhatikan beberapa prinsip. Pertama, kejelasan maksud dan tujuan pemilihan media; apakah untuk keperluan hiburan, informasi umum, pembelajaran dan sebagainya. Kedua, familiaritas media, yang melibatkan pengetahuan akan sifat dan ciri-ciri media yang akan dipilih. Ketiga, sejumlah media dapat diperbandingkan karena adanya beberapa pilihan yang kiranya lebih sesuai dengan tujuan pengajaran.
Sejalan dengan pendapat di atas, Miarso , menyatakan bahwa hal pertama yang harus dilakukan guru dalam penggunaan media secara efektif adalah mencari, menemukan, dan memilih media yang memenuhi kebutuhan belajar anak, menarik minat anak, sesuai dengan perkembangan kematangan dan pengalamannya serta karakteristik khusus yang ada pada kelompok belajarnya. Karaketristik ini antara lain adalah kematangan anak dan latar belakang pengalamannya serta kondisi mental yang berhubungan dengan usia perkembangannya.
Selain masalah ketertarikan siswa terhadap media, keterwakilan pesan yang disampaikan guru juga hendaknya dipertimbangkan dalam pemilihan media. Setidaknya ada tiga fungsi yang bergerak bersama dalam keberadaan media. Pertama¸ fungsi stimulasi yang menimbulkan ketertarikan untuk mempelajari dan mengetahui lebih lanjut segala hal yang ada pada media. Kedua, fungsi mediasi yang merupakan perantara antara guru dan siswa. Dalam hal ini, media menjembatani komunikasi antara guru dan siswa. Ketiga, fungsi informasi yang menampilkan penjelasan yang ingin disampaikan guru. Dengan keberadaan media, siswa dapat menangkap keterangan atau penjelasan yang dibutuhkannya atau yang ingin disampaikan oleh guru.
Fungsi stimulasi yang melekat pada media dapat dimanfaatkan guru untuk membuat proses pembelajaran yang menyenagkan dan tidak membosankan. Kondisi ini dapat terjadi jika media yang ditampilkan oleh guru adalah sesuatu yang baru dan belum pernah diketahui oleh siswa baik tampilan fisik maupun yang non-fisik. Selain itu, isi pesan pada media tersebut hendaknya juga merupakan suatu hal yang baru dan atraktif, misalnya dari segi warna maupun desainnya. Semakin atraktif bentuk dan isi media, semakin besar pula keinginan siswa untuk lebih jauh mengetahui apa yang ingin disampaikan guru atau bahkan timbul keinginan untuk berinteraksi dengan media tersebut. Jika siswa mendapatkan suatu inormasi atau pengalaman berharga dari media tersebut, di sinilah titik sentral terjadinya belajar.
1. Pengembangan Media Pembelajaran Sederhana
Beberapa butir penting yang perlu kita pahami dalam kegiatan belajar ini adalah:
a. Media pembelajaran sederhana adalah jenis-jenis media pembelajaran yang relatif mudah dibuat, bahannya mudah diperoleh, mudah digunakan, serta harganya lebih murah. Namun demikian, sederhana tidaknya suatu media tersebut sebenarnya tergantung pada kondisi suatu sekolah.
b. Pemilihan media pembelajaran (sederhana) pada hakikatnya merupakan proses pengambilan keputusan yang dilakukan oleh guru untuk menentukan jenis media mana yang lebih tepat digunakan dan sesuai dengan tujuan pembelajaran, sifat materi yang akan disampaikan, strategi yang digunakan, serta evaluasinya. Adanya pemilihan media ini disebabkan sangat banyak dan bervariasinya jenis media dengan karakteristik yang berbeda-beda.
c. Penggunaan media pembelajaran sederhana perlu memperhatikan tujuan yang ingin dicapai, sifat dari bahan ajar, karakteristik sasaran belajar (siswa), dan kondisi tempat/ruangan. Juga perlu dipertimbangkan kesederhanaannya, menarik perhatian, adanya penonjolan/penekanan (misalnya dengan warna), direncanakan dengan baik, serta memungkinkan siswa lebih aktif belajar.
d. Untuk pemeliharaan media pembelajaran agar awet dan dapat digunakan lebih lama perlu diupayakan berbagai cara, baik secara teknis misalnya dengan memberi bingkai pada media grafis (mounting frame), maupun yang lebih ideal yaitu menyediakan tempat atau ruangan yang secara khusus diset untuk penyimpanan berbagai jenis media pembelajaran.
2. Media Pembelajaran Berbantuan Komputer
Pemecahan masalah pengajaran dengan pendekatan sistem ini adalah berdasarkan konsepsi teknologi instruksional yang merupakan bagian dari teknologi pendidikan.
Teknologi pendidikan adalah suatu proses yang kompleks dan terpadu yang meliputi manusia, prosedur, ide alat dan organisasi untuk menganalisis masalah serta merancang, melaksanakan, menilai, dan mengelola usaha pemecahan masalah yang berhubungan dengan segala aspek belajar ( AECT, 1971). Sedangkan teknologi instruksional adalah suatu proses yang kompleks dan terpadu meliputi, manusia, prosedur, ide, alat dan organisasi untuk menganalisis masalah serta merancang, melaksanakan, menilai dan mengelola usaha pemecahan masalah dalam situasi belajar yang bertujuan dan yang terkontrol.
Dalam teknologi instruksional usaha pemecahan masalah itu akan berbentuk sistem instruksional yang lengkap, yang merupakan kombinasi dari komponen sistem instruksional yang sengaja dirancang, dipilih dan digunakan secara terpadu. Komponen sistem instruksional ini terdiri atas pesan, orang, bahan, alat, tehnik dan lingkungan. Proses dalam menganalisis masalah serta merancang, melaksanakan dan menilai usaha pemecahan masalah merupakan fungsi pengembangan instruksional dari pemecahan masalah merupakan fungsi pengembangan instruksional dari riset-teori, disain, produksi, seleksi evaluasi, logistik dan pemanfaatan.
Sedangkan proses dalam mengarahkan atau mengkoordinasi salah satu atau beberapa fungsi tersebut di atas merupakan fungsi manajemen instruksional dari organisasi dan personel.
Kegiatan instruksional sering juga dianggap sama dengan mengajar atau memberi kuliah. Dalam konteks ini mengajar merupakan kegiatan yang dilaksanakan oleh mereka yang mempunyai profesi sebagai pengajar atau penatar, sedangkan memberi kuliah hanya merupakan salah satu penerapan strategi pengajaran.
Komputer sebagai sarana interaktif merupakan salah satu bentuk pembelajaran terprogram (Programmed Instrduction), yang dilandasi hukum akibat (Law of Effect). Dalam hukum akibat asumsi utama yang diyakini ialah: tingkah laku yang diikuti dengan rasa senang besar kemungkinannya untuk dilakukan atau diulang dibandingkan tingkah laku yang tidak disenangi. Berdasarkan Hukum Akibat ini muncullah teori S-R (yang meliputi (Stimulus, Response dan Reinformance). Pembelajaran dengan teori ini dilakukan cara siswa diberi pertanyaan sebagai stimulus, kemudian ia memberikan jawaban dari pertanyaan yang diberikan.
Selanjutnya oleh komputer respons siswa ditanggapi dan jika jawabannya benar komputer memberikan penguatan. Jika salah komputer memberikan pertanyaan lain yang memuat dorongan untuk memperbaiki jawaban siswa, hal ini sangat mungkin bisa dilakukan dengan menggunakan komputer dalam hal ini komputer berfungsi sebagai tutor yang digunakan antara lain untuk menampilkan, menjelaskan konsep dan ide. Dalam hal ini siswa berinteraksi dengan komputer yang prosesnya sebagai berikut:
a. Komputer menampilkan suatu informasi.
b. Siswa menjawab pertanyaan atau masalah yang sesuai dengan infromasi yang diberikan.
c. Kemudian komputer mengevaluasi jawaban siswa.
d. Akhirnya komputer menentukan apakah yang harus diperbuat siswa selanjutnya berdasarkan hasil evaluasi pada jawaban siswa tersebut.
Cates (1988:115) yang menyatakan bahwa “Without feedback, a learner is left to perform with no sense of direction or measure of correctness”. Tanpa balikan siswa tidak tahu kebenaran dari jawaban mereka, tidak tahu seberapa jauh keberhasilan mereka.
Kehadiran komputer sebagai media dengan kelebihan-kelebihan tersebut memberikan banyak dukungan bagi penyajian materi pembelajaran. Proses dapat dijelaskan dengan lebih jelas dan menarik oleh kemampuan media tersebut. Sebuah paket pembelajaran dapat disertai petunjuk yang mungkin diperlukan oleh pembelajar.
Hasil-hasil penelitian seperti dikemukakan di atas menunjukan cukup banykanya kelebihan komputer sebagai media pembelajaran matematika. Demikian juga teori pembelajaran baik teori konstruktivisme mapun teori pembelajaran lainnya mendukung digunakannya komputer. Dengan demikian maka dipandang layak dilakukan pembelajaran berbantuan komputer.
Keuntungan Pembelajaran Berbantuan Komputer adalah sebagai berikut:
a. Pembelajaran berbantuan komputer bila dirancang dengan baik, merupakan media pembelajaran yang sangat efektif, dapat dimudahkan dan meningkatkan kualitas pembelajaran.
b. Meningkatkan motivasi belajar siswa.
c. Mendukung pembelajaran individual sesuai kemampuan siswa.
d. Melatih siswa untuk terampil memilih bagian-bagian isi pembelajaran yang dikehendaki.
e. Dapat dugunakan sebagai penyampai balikan langsung.
f. Dalam mengerjakan latihan-latihan proses koreksi jawaban dapat dimintakan bantuan komputer dan disajikan dengan cepat atau sesuai kecepatan yang diperlukan pembelajaran.
g. Materi dapat diulang-ulang sesuai keperluan, tanpa harus menimbulkan rasa jenuh guru atau nara sumbernya.
Adapun keterbatasan media komputer ini adalah sebagai berikut:
a. Keterbatasan bentuk dialog/ komunikasi
b. Sering siswa mempunyai jalan pikiran yangbelum tentu dapat terancang dan diungkapkan dengan tepat melalui komputer.
c. Untuk feeback yang diperlukan siswa pada dasarnya sering sangat bervariasi, tetapi dengan komputer kepentingan siswa masing-masing tidak selalu dapat terlacak atau disediaakan oleh program komputer.
d. Beberapa program yang disediakan mungkin menyebabkan belajar hafalan yang kurang bermakna bagi siswa.
e. Keterseringan menggunakan komputer dapat menyebabkan ketergantungan yang berakibat kurang baik.
3. Media Film
Keuntungan penggunaan film sebagai media pendidikan di sekolah antara lain :
a. Film pendidikan dapat menyajikan secara keseluruhan proses kegiatan dan rincian bahasan secar lengkap, menyeluruh dan terpadu.
b. Film dapat menimbulkan kesan yang mendalam dalam diri pendidik atau peserta didik
c. Film dapat mengatasi ruangdan waktu.
d. Suara dan gerakan yang ditampilkan adalah penggambaran kenyataan, sesuai dengan materi pokok yang disajikan.
e. Secara psikologis film memenuhi persyaratan pendidikan yaitu gambar ditampilkan memenuhi unsur gerak bertukar-tukar, dan kontras.
Menurut Rudi Bertz, film sebagai media mempunyai keunggulan dalam suara, gambar yang bergerak, garis dan symbol yang ditampilkan.
Kelemahan penggunaan film sebagai media pendidikan antara lain :
a. Film agak sulit dipindah-pindahkan tempatnya
b. Ia tidak bisa dipakai setiap saat secara mendadak
c. Film tidak dapat memberi umpan balik kepada peserta didik
d. Film tidak dapat diselingi oleh pendidik
e. Biaya pembuatan dan perencanaan memakan dana dan waktu yang relative banyak.
Bahan pertimbangan mengapa film dimanfaatkan sebagai media pendidikan :
a. Adakanlah perencanaan yang matang sehingga pelaksanaannya efektif dan efesien
b. Buatlah persiapan sebaik-baiknya
c. Adakanlah hubungan yang luas dengan berbagai pihak
d. Bila pemutaran film telah dilakukan adakanlah diskusi Tanya jawab atau pemberian tugas
Menurut Oemar H. Malik, katagori untuk memilih jenis film yang baik sebagai media pendidikan agama sebagai berikut:
a. Judul film pendidikan tersebut mempunyai penyajian dan pembahasan yang menarik perhatian peserta didik
b. Materi yang disajikan benar dan asli
c. Sesuai dengan tingkat kematangan peserta didik dan daya terimanya
d. Bahasa yang digunakan dalam dialog film tersebut dapat dimengerti
e. Urutan pembahasan dan penyajiannya sistematis dan logis
f. Durasi waktu film tersebut jangan terlalu lama
BAB III
P E N U T U P
A. Kesimpulan.
Dari berbagai pendapat yang sudah dijabarkan di atas dapat kita simpulkan bahwa media audio dan visual memiliki manfaat di ranah pendidikan. Manfaat media tersebut yakni dapat mempengaruhi faktor internal dan eksternal yang dialami oleh peserta didik. Media tersebut pun dikatakan bermanfaat karena memiliki dampak positif terhadap dunia pendidikan karena menjadikan siswa lebih berkonsentrasi dan mudah untuk memahami apa yang disampaikan oleh peserta didik. Media audio-visual pun membantu pendidik untuk mengonkritkan sesuatu yang abstrak, sebagai contoh : guru PAI sedang mengajarkan siswa tentang Haji, maka cukup memutarkan CD pembelajaran tentang Haji. Dari contoh tersebut, dengan adanya media audiovisual siswa akan terangsang imajinasinya dan kreatifitasnya untuk memahami tentang mereka yang pergi haji ke Mekah.
B. Saran-saran
Adapun sebagai saran penulis dalam bahasan ini adalah sebagai berikut: Hendaknya setiap guru PAI memikirkan media pembelajaran yang sesuai dengan zaman sekarang, karena guru bukan lah sumber belajar satu-satunya. Oleh karena itu media pembelajaran harus disesuaikan dengan zaman sekarang yaitu pembuatan multimedia , film, dan lain sebagainya. Dengan demikian guru tetap dihormati siswa sebagai sumber belajar di sekolah.
DAFTAR PUSTAKA
Ahmadi, Abu, Sosiologi Pendidikan. Jakarta: Rineka Cipta.1991
Arikunto, Suharsimi, Manajemen Pengajaran. Jakarta: Rineka Cipta.1990
Azhari Arsyad, Media Pembelajaran, Rajawali Press, Jakarta, 2007
Danim, Sudarwan, Media Komunikasi Pendidikan. Jakarta: Bumi Aksara.1995
Miarso, Yusufhadi. dkk. 1986. “Media Pendidikan”. Dalam Miarso, Yusufhadi dkk. Teknologi Komunikasi Pendidikan. Jakarta: Rajawali.1986
Rahardjo, R. 1986. “Media Pembelajaran”. Dalam Miarso, Yusufhadi dkk. Teknologi Komunikasi Pendidikan. Jakarta: Rajawali.1986
Rusyan, A. Tabrani dan Daryani, Yani,. Penuntun Belajar yang Sukses. Jakarta: Nine Karya, 1993
Samana, A, Profesionalisme Keguruan. Yogyakarta: Kanisius, 1994
Yudi Munadi, Media Pembelajaran, GP Press, Jakarta, 2008
Wijaya, Cece. Dkk, Upaya Pembaharuan dalam Pendidikan dan Pengajaran. Bandung: Remaja Rosdakarya. 1991
http://marthahutagaol.blogspot.com/2009/02/media-pembelajaran.html, diunduh tanggal 8 April 2011.
Selasa, 31 Mei 2011
Rabu, 04 Mei 2011
PENGEMBANGAN PEMBELAJARAN PAI YANG MEMBANGUN SIKAP MENTAL PESERTA DIDIK UNTUK BERPRILAKU MANDIRI
Oleh
Jasa Fadilah Ginting
I. Pendahuluan
Kehidupan merupakan fitrah Allah, Tuhan Yang Maha Esa untuk seluruh makhluk-Nya. Dengan fitrah yang di dalamnya terkandung makna yang mendasar tentang kebenaran dan keluhuran, kehidupan yang dianugrahkan Allah kepada makhluk-Nya. Wahana utama untuk pengembangan manusia mengacu kepada harkat dan martabat manusia adalah upaya pendidikan.
Acuan yuridis-formal yang dimiliki tentang konsistensi dalam upaya pemaknaan dan pemberdayaan pendidikan juga di atur dalam Undang-Undang No. 20 Tahun 2003 tentang sistem Pendidikan Nasional dengan tegas memberikan tempat yang sangat terhormat terhadap pendidikan agama. Dalam pasal 37 ayat 1 dan 2 ditegaskan bahwa kurikulum pendidikan dasar, menengah dan tinggi wajib memuat pendidikan agama.
Dalam penjabaran pasal 37 di atas, pemerintah telah mengeluarkan Peraturan Pemerintah No. 55 tahun 2007 yang begitu ideal dan penuh harapan dari pendidikan agama ini. Betapa tidak, dalam pasal 5 dari ayat 3 s.d. 7 disebutkan bahwa: (3) Pendidikan agama mendorong peserta didik untuk taat menjalankan ajaran agamanya dalam kehidupan sehari-hari dan menjadikan agama sebagai landasan etika dan moral dalam kehidupan pribadi, berkeluarga, bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara; (4) Pendidikan agama mewujudkan keharmonisan, kerukunan, dan rasa hormat diantara sesama pemeluk agama yang dianut dan terhadap pemeluk agama lain; (5) Pendidikan agama membangun sikap mental peserta didik untuk bersikap dan berperilaku jujur, amanah, disiplin, bekerja keras, mandiri, percaya diri, kompetitif, kooperatif, tulus, dan bertanggung jawab; (6) Pendidikan agama menumbuhkan sikap kritis, inovatif, dan dinamis, sehingga menjadi pendorong peserta didik untuk memiliki kompetensi dalam bidang ilmu pengetahuan, teknologi, seni, dan/atau olahraga; (7) Pendidikan agama diselenggarakan secara interaktif, inspiratif, menyenangkan, menantang, mendorong kreativitas dan kemandirian, serta menumbuhkan motivasi untuk hidup sukses.
Pengembangan pembelajaran pendidikan agama Islam yang membangun sikap mental peserta didik untuk berperilaku mandiri harus didasari pada proses pelatihan sejak dini, misalnya sikap disiplin dalam shalat.
Disiplin adalah proses pelatihan pikiran dan karakter, yang meningkatkan kemampuan untuk mengendalikan diri sendiri, dan menumbuhkan ketaatan atau kepatuhan terhadap tata tertib atau nilai tertentu. Disiplin di sini dimaksudkan cara kita mengajarkan kepada anak tentang perilaku moral yang dapat diterima kelompok. Tujuan utamanya adalah memberitahu dan menanamkan pengertian dalam diri anak tentang perilaku mana yang baik dan mana yang buruk, dan untuk mendorongnya memiliki perilaku yang sesuai dengan standar ini. Dalam disiplin, ada tiga unsur yang penting, yaitu hukum atau peraturan yang berfungsi sebagai pedoman penilaian, sanksi atau hukuman bagi pelanggaran peraturan itu, dan hadiah untuk perilaku atau usaha yang baik.
Melalui pembelajaran Pendidikan Agama Islam diharapkan dapat membangun sikap mental peserta didik untuk berprilaku mandiri dalam kehidupan sehari-hari. Oleh karena itu penulis tertarik untuk membahas ini lebih mendalam agar dapat bermanfaat dalam pembelajaran peserta didik di dunia pendidikan.
II. Pengembangan Pembelajaran Pendidikan Agama Islam Yang Membangun Sikap Mental Peserta Didik Untuk Berperilaku Mandiri.
A. Membangun Sikap Mental
Sikap adalah keadaan mental dan saraf dari kesiapan, yang diatur
melalui pengalaman yang memberikan pengaruh dinamik atau terarah terhadap respon individu pada semua objek dan situasi yang berkaitan dengannya.
Jadi, sikap bukan perilaku tetapi merupakan kecenderungan untuk berperilaku. Kedua, sikap mempunyai daya pendorong atau motivasi, mengesampingkan apa yang tidak diinginkan, menentukan apa yang disukai (Rachmat, 2005: 39).
1. Komponen yang membentuk sikap Mental.
Adapun komponen yang membentuk sikap mental peserta didik adalah sebagai berikut:
a. Komponen kognitif, merupakan komponen yang berisi kepercayaan seseorang mengenai apa yang berlaku atau apa yang benar bagi objek sikap.
b. Komponen afektif, merupakan komponen yang menyangkut masalah emosional subjektif seseorang terhadap suatu objek sikap. Secara umum, komponen ini disamakan dengan perasaan yang dimiliki terhadap sesuatu.
c. Komponen perilaku atau komponen konatif dalam struktur sikap menunjukkan bagaimana perilaku atau kecenderungan berperilaku yang ada dalam diri seseorang berkaitan dengan objek sikap yang dihadapinya.
2. Karakteristik sikap Mental.
Menurut Brigham (dalam Dayakisni Tri, 2003) ada beberapa ciri atau
karakteristik dasar dari sikap, yaitu :
a. Sikap disimpulkan dari cara-cara individu bertingkah laku.
b. Sikap ditujukan mengarah kepada objek psikologis
c. Sikap dipelajari.
d. Sikap mempengaruhi perilaku.
3. Faktor-faktor yang mempengaruhi Sikap Mental
Azwar (1998) menyimpulkan bahwa faktor-faktor yang mempengaruhi pembentukan sikap adalah pengalaman pribadi, kebudayaan, orang lain yang dianggap penting, media massa, institusi atau lembaga pendidikan dan lembaga agama, serta faktor emosi dalam diri individu.
a. Pengalaman pribadi
Middlebrook (dalam Azwar, 1998) mengatakan bahwa tidak adanya pengalaman yang dimiliki oleh seseorang dengan suatu objek psikologis cenderung akan membentuk sikap negatif terhadap objek tersebut. Sikap akan lebih mudah terbentuk jika yang dialami seseorang terjadi dalam situasi yang melibatkan faktor emosional. Situasi yang melibatkan emosi akan menghasilkan pengalaman yang lebih mendalam dan lebih lama membekas.
b. Pengaruh orang lain yang dianggap penting
Pada umumnya, individu cenderung untuk memiliki sikap yang konformis atau searah dengan sikap orang yang dianggapnya penting. Kecenderungan ini antara lain dimotivasi oleh keinginan untuk berafiliasi dan keinginan untuk menghindari konflik dengan orang yang dianggap penting tersebut.
c. Pengaruh Kebudayaan
Burrhus Frederic Skinner, seperti yang dikutip Azwar sangat menekankan pengaruh lingkungan (termasuk kebudayaan) dalam membentuk pribadi seseorang. Kepribadian merupakan pola perilaku yang konsisten yang menggambarkan sejarah penguat (reinforcement) yang kita alami (Hergenhan dalam Azwar, 1998). Kebudayaan memberikan corak pengalaman bagi individu dalam suatu masyarakat. Kebudayaan telah menanamkan garis pengarah sikap individu terhadap berbagai masalah.
d. Media Massa
Media massa memberikan pesan-pesan yang sugestif yang mengarahkan opini seseorang. Adanya informasi baru mengenai sesuatu hal memberikan landasan kognitif baru bagi terbentuknya sikap terhadap hal tersebut. Jika cukup kuat, pesan-pesan sugestif akan memberi dasar afektif dalam menilai sesuatu hal sehingga terbentuklah arah sikap tertentu.
e. Faktor Emosional
Suatu bentuk sikap terkadang didasari oleh emosi, yang berfungsi sebagai semacam penyaluran frustrasi atau pengalihan bentuk mekanisme pertahanan ego. Menurut Bimo Walgito (dalam Dayakisni Tri, 2003), pembentukan dan perubahan sikap akan ditentukan oleh dua faktor, yaitu :
1) Faktor internal (individu itu sendiri) yaitu cara individu dalam menanggapi dunia luar dengan selektif sehingga tidak semua yang datang akan diterima atau ditolak.
2) Faktor eksternal yaitu keadaan-keadaan yang ada di luar individu yang merupakan stimulus untuk membentuk atau mengubah sikap.
Berdasarkan uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa pembentukan sikap dipengaruhi oleh faktor ekstrinsik yang berasal dari luar individu dan faktor intrinsik yang berasal dari dalam individu serta sikap disimpulkan dari cara-cara individu bertingkah laku.
B. Sikap Mandiri
Berdasarkan karakteristik sikap, sikap mandiri dapat ditunjukkan dari cara dan perilaku mandiri siswa dalam belajar. Sikap mandiri dalam belajar sangat diperlukan agar peserta didik mempunyai tanggung jawab dalam mengatur dan mendisiplinkan dirinya dalam kegiatan proses pembelajaran, selain itu dalam mengembangkan kemampuan belajar atas kemauan sendiri. Sikap-sikap tersebut perlu dimiliki oleh siswa sebagai peserta didik karena hal tersebut merupakan ciri dari kedewasaan siswa.
Kemandirian adalah kemampuan untuk mengarahkan diri dan mengendalikan diri sendiri dalam berpikir dan bertindak, serta tidak merasa bergantung kepada orang lain secara emosional. Orang yang mandiri mengandalkan dirinya sendiri dalam merencanakan dan membuat keputusan penting. Orang yang mandiri mampu bekerja sendiri, mereka tidak mau bergantung kepada orang lain dalam memenuhi kebutuhan emosional mereka. Kemampuan untuk mandiri bergantung pada tingkat kepercayaan diri dan kekuatan batin seseorang, serta keinginan untuk memenuhi harapan dan kewajiban tanpa diperbudak oleh kedua jenis tuntuan itu (Uno 2005:77).
Kemandirian dalam belajar dapat diartikan sebagai aktivitas belajar dan berlangsungnya lebih didorong oleh kemauan sendiri, pilihan sendiri dan tanggung jawab sendiri dari pembelajar (Dimyati, 1998:51). Siswa dikatakan telah mampu belajar secara mandiri apabila telah mampu melakukan tugas belajar tanpa ketergantungan dengan orang lain. Pada dasarnya kemandirian merupakan perilaku individu yang mampu berinisiatif, mampu mengatasi hambatan/masalah, mempunyai rasa percaya diri dan dapat melakukan sesuatu sendiri tanpa bantun orang lain. Pendapat tersebut diperkuat oleh Kartini dan Dali dalam Mu’tadin (2002:2) yang mengatakan bahwa kemandirian adalah hasrat untuk mengerjakan sesuatu bagi diri sendiri. Kemandirian belajar seseorang sangat tergantung pada pada seberapa jauh seseorang tersebut dapat balajar mandiri. Dalam belajar mandiri siswa akan berusaha sendiri terlebih dahulu untuk mempelajari serta memahami isi pelajaran yang di baca atau dilihatnya melalui media pandang dan dengar. Jika siswa mendapat kesulitan barulah siswa tersebut akan bertanya atau mendiskusikan dengan teman, guru atau pihak lain lain yang sekiranya lebih berkompeten dalam mengatasi kesulitan tersebut. Siswa yang mandiri akan mampu mencari sumber belajar yang dibutuhkan serta harus mempunyai kreativitas inisiatif sendiri dan mampu bekerja sendiri dengan merujuk pada bimbingan yang diperolehnya.
Belajar mandiri dapat diartikan sebagai aktivitas belajar dan berlangsungnya lebih didorong oleh kemauan sendiri, pilihan sendiri dan tanggung jawab sendiri dari pembelajar (Dimyati, 1998:51). Siswa dikatakan telah mampu belajar secara mandiri apabila telah mampu melakukan tugas belajar tanpa ketergantungan dengan orang lain. Pada dasarnya kemandirian merupakan perilaku individu yang mampu berinisiatif, mampu mengatasi hambatan/masalah, mempunyai rasa percaya diri dan dapat melakukan sesuatu sendiri tanpa bantun orang lain. Pendapat tersebut diperkuat oleh Kartini dan Dali dalam Mu’tadin (2002:2) yang mengatakan bahwa kemandirian adalah hasrat untuk mengerjakan sesuatu bagi diri sendiri. Kemandirian belajar seseorang sangat tergantung pada pada seberapa jauh seseorang tersebut dapat balajar mandiri. Dalam belajar mandiri siswa akan berusaha sendiri terlebih dahulu untuk mempelajari serta memahami isi pelajaran yang di baca atau dilihatnya melalui media pandang dan dengar. Jika siswa mendapat kesulitan barulah siswa tersebut akan bertanya atau mendiskusikan dengan teman, guru atau pihak lain lain yang sekiranya lebih berkompeten dalam mengatasi kesulitan tersebut. Siswa yang mandiri akan mampu mencari sumber belajar yang dibutuhkan serta harus mempunyai kreativitas inisiatif sendiri dan mampu bekerja sendiri dengan merujuk pada bimbingan yang diperolehnya.
Berdasarkan beberapa pendapat para ahli dan beberapa pertimbangan di atas, maka belajar mandiri dapat diartikan sebagai usaha individu untuk melakukan kegiatan belajar secara sendirian maupun dengan bantuan orang lain berdasarkan motivasinya sendiri untuk menguasai suatu materi dan atau kompetensi tertentu sehingga dapat digunakannya untuk memecahkan masalah yang dijumpainya di dunia nyata.
1. Faktor yang Mempengaruhi Kemandirian Belajar
a. Faktor dari diri siswa
Menurut Bernadib (dalam Mu’tadin 2002:1) bahwa siswa yang memiliki kemandirian belajar mempunyai kecenderungan tingkah laku sebagai berikut:
1) Memiliki hasrat bersaing untuk maju demi kebaikan dirinya.
Dalam proses belajar mengajar terjadi interaksi antara siswa dengan guru maupun siswa dengan siswa yang lainnya. Setiap siswa yang melibatkan dirinya dalam suatu persaingan yang sehat dan dapat memenangkan persaingan tersebut harus berusaha keras untuk membangkitkan keberanian, semangat juang dan rasa percaya diri yang maksimal.
2) Mampu mengambil keputusan dan inisiatif untuk mengatasi masalah yang dihadapi.
Kemampuan mengambil keputusan dan inisiatif dipengaruhi oleh respon siswa terhadap apa yang ada dan terjadi disekitar untuk dijadikan bahan kajian belajar. Inisiatif sebagai prakarsa yang disertai dengan langkah konkrit selalu ditunggu kehadirannya pada segala macam kepentingan hidup baik ditengah masyarakat maupun disekolah terutama siswa.
3) Memiliki kepercayaan diri dalam mengerjakan tugas-tugasnya.
Siswa yang memiliki kepercayaan diri tidak mudah terpengaruh oleh apa yang dilakukan orang lain (Riyanto, 2002:38). Siswa yang memiliki kemandirian belajar tinggi cenderung memiliki rasa percaya diri, yaitu selalu bersikap tenang dalam mengerjakan tugas-tugas belajar yang diberikan guru dengan memanfaatkan segala potensi atau kemampuan yang dimiliki dan tidak mudah terpengaruh orang lain dalam mengerjakan tugas-tugasnya serta tidak mencontek.
4) Bertanggungjawab terhadap apa yang dilakukannya.
Siswa yang bertanggung jawab adalah siswa yang menyadari hak dan kewajibannya sebagai seorang peserta didik. Tanggung jawab seorang siswa adalah belajar dan mengerjakan setiap tugas yang diberikan oleh guru dengan penuh keikhlasan dan kesadaran, selain itu siswa yang bertanggung jawab adalah yang mampu mempertanggung jawabkan proses belajar berupa nilai dan perubahan tingkah laku.
III. PENUTUP
Pengembangan Pembelajaran PAI Yang Membangun Sikap Mental Peserta Didik Untuk Berprilaku Mandiri yaitu:
1. Sikap mandiri siswa dapat ditafsir dari ketertarikan siswa dalam belajar, kemampuan siswa mengatur diri untuk mencapai cita-citanya, serta kesadaran diri yang tinggi. Sikap mandiri mendorong siswa untuk belajar dengan senang dan belajar secara sungguh-sungguh, yang pada gilirannya akan terbentuk cara belajar siswa yang sistematis, penuh konsentrasi dan dapat menyeleksi kegiatan-kagiatannya.
2. Kemandirian adalah kemampuan untuk mengarahkan diri dan mengendalikan diri sendiri dalam berpikir dan bertindak, serta tidak merasa bergantung kepada orang lain secara emosional.
3. Melalui pembelajaran Pendidikan Agama Islam diharapkan dapat membangun sikap mental peserta didik untuk berprilaku mandiri dalam kehidupan sehari-hari. Oleh karena itu penulis tertarik untuk membahas ini lebih mendalam agar dapat bermanfaat dalam pembelajaran peserta didik di dunia pendidikan.
IV. DAFTAR PUSTAKA
Achmad, Mudlor. Tt. Etika dalam Islam. Al-Ikhlas. Surabaya.
Al-Jazairi, Syekh Abu Bakar. 2003. Mengenal Etika dan Akhlak Islam. Lentera. Jakarta.
Bakry, Oemar. 1981. Akhlak Muslim. Aangkasa. Bandung.
Dayakisni, Tri dan Hudaniah, Psikologi Sosial. Ed. 2, Cet. 2. Malang: UMM Press.2003
Ilyas, Yunahar. 1999. Kuliah Akhlak. Lembaga Pengkajian dan Pengamalan Islam. Yogyakarta.
Masyhur, Kahar. 1986. Meninjau berbagai Ajaran; Budipekerti/Etika dengan Ajaran Islam. Kalam Mulia. Jakarta.
Martin Leman, disiplin anak, 2000.
Undang-Undang No. 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional.
Peraturan Pemerintah Republik Indonesia nomor 55 tahun 2007, Tentang Pendidikan Agama dan Pendidikan Keagamaan
Jasa Fadilah Ginting
I. Pendahuluan
Kehidupan merupakan fitrah Allah, Tuhan Yang Maha Esa untuk seluruh makhluk-Nya. Dengan fitrah yang di dalamnya terkandung makna yang mendasar tentang kebenaran dan keluhuran, kehidupan yang dianugrahkan Allah kepada makhluk-Nya. Wahana utama untuk pengembangan manusia mengacu kepada harkat dan martabat manusia adalah upaya pendidikan.
Acuan yuridis-formal yang dimiliki tentang konsistensi dalam upaya pemaknaan dan pemberdayaan pendidikan juga di atur dalam Undang-Undang No. 20 Tahun 2003 tentang sistem Pendidikan Nasional dengan tegas memberikan tempat yang sangat terhormat terhadap pendidikan agama. Dalam pasal 37 ayat 1 dan 2 ditegaskan bahwa kurikulum pendidikan dasar, menengah dan tinggi wajib memuat pendidikan agama.
Dalam penjabaran pasal 37 di atas, pemerintah telah mengeluarkan Peraturan Pemerintah No. 55 tahun 2007 yang begitu ideal dan penuh harapan dari pendidikan agama ini. Betapa tidak, dalam pasal 5 dari ayat 3 s.d. 7 disebutkan bahwa: (3) Pendidikan agama mendorong peserta didik untuk taat menjalankan ajaran agamanya dalam kehidupan sehari-hari dan menjadikan agama sebagai landasan etika dan moral dalam kehidupan pribadi, berkeluarga, bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara; (4) Pendidikan agama mewujudkan keharmonisan, kerukunan, dan rasa hormat diantara sesama pemeluk agama yang dianut dan terhadap pemeluk agama lain; (5) Pendidikan agama membangun sikap mental peserta didik untuk bersikap dan berperilaku jujur, amanah, disiplin, bekerja keras, mandiri, percaya diri, kompetitif, kooperatif, tulus, dan bertanggung jawab; (6) Pendidikan agama menumbuhkan sikap kritis, inovatif, dan dinamis, sehingga menjadi pendorong peserta didik untuk memiliki kompetensi dalam bidang ilmu pengetahuan, teknologi, seni, dan/atau olahraga; (7) Pendidikan agama diselenggarakan secara interaktif, inspiratif, menyenangkan, menantang, mendorong kreativitas dan kemandirian, serta menumbuhkan motivasi untuk hidup sukses.
Pengembangan pembelajaran pendidikan agama Islam yang membangun sikap mental peserta didik untuk berperilaku mandiri harus didasari pada proses pelatihan sejak dini, misalnya sikap disiplin dalam shalat.
Disiplin adalah proses pelatihan pikiran dan karakter, yang meningkatkan kemampuan untuk mengendalikan diri sendiri, dan menumbuhkan ketaatan atau kepatuhan terhadap tata tertib atau nilai tertentu. Disiplin di sini dimaksudkan cara kita mengajarkan kepada anak tentang perilaku moral yang dapat diterima kelompok. Tujuan utamanya adalah memberitahu dan menanamkan pengertian dalam diri anak tentang perilaku mana yang baik dan mana yang buruk, dan untuk mendorongnya memiliki perilaku yang sesuai dengan standar ini. Dalam disiplin, ada tiga unsur yang penting, yaitu hukum atau peraturan yang berfungsi sebagai pedoman penilaian, sanksi atau hukuman bagi pelanggaran peraturan itu, dan hadiah untuk perilaku atau usaha yang baik.
Melalui pembelajaran Pendidikan Agama Islam diharapkan dapat membangun sikap mental peserta didik untuk berprilaku mandiri dalam kehidupan sehari-hari. Oleh karena itu penulis tertarik untuk membahas ini lebih mendalam agar dapat bermanfaat dalam pembelajaran peserta didik di dunia pendidikan.
II. Pengembangan Pembelajaran Pendidikan Agama Islam Yang Membangun Sikap Mental Peserta Didik Untuk Berperilaku Mandiri.
A. Membangun Sikap Mental
Sikap adalah keadaan mental dan saraf dari kesiapan, yang diatur
melalui pengalaman yang memberikan pengaruh dinamik atau terarah terhadap respon individu pada semua objek dan situasi yang berkaitan dengannya.
Jadi, sikap bukan perilaku tetapi merupakan kecenderungan untuk berperilaku. Kedua, sikap mempunyai daya pendorong atau motivasi, mengesampingkan apa yang tidak diinginkan, menentukan apa yang disukai (Rachmat, 2005: 39).
1. Komponen yang membentuk sikap Mental.
Adapun komponen yang membentuk sikap mental peserta didik adalah sebagai berikut:
a. Komponen kognitif, merupakan komponen yang berisi kepercayaan seseorang mengenai apa yang berlaku atau apa yang benar bagi objek sikap.
b. Komponen afektif, merupakan komponen yang menyangkut masalah emosional subjektif seseorang terhadap suatu objek sikap. Secara umum, komponen ini disamakan dengan perasaan yang dimiliki terhadap sesuatu.
c. Komponen perilaku atau komponen konatif dalam struktur sikap menunjukkan bagaimana perilaku atau kecenderungan berperilaku yang ada dalam diri seseorang berkaitan dengan objek sikap yang dihadapinya.
2. Karakteristik sikap Mental.
Menurut Brigham (dalam Dayakisni Tri, 2003) ada beberapa ciri atau
karakteristik dasar dari sikap, yaitu :
a. Sikap disimpulkan dari cara-cara individu bertingkah laku.
b. Sikap ditujukan mengarah kepada objek psikologis
c. Sikap dipelajari.
d. Sikap mempengaruhi perilaku.
3. Faktor-faktor yang mempengaruhi Sikap Mental
Azwar (1998) menyimpulkan bahwa faktor-faktor yang mempengaruhi pembentukan sikap adalah pengalaman pribadi, kebudayaan, orang lain yang dianggap penting, media massa, institusi atau lembaga pendidikan dan lembaga agama, serta faktor emosi dalam diri individu.
a. Pengalaman pribadi
Middlebrook (dalam Azwar, 1998) mengatakan bahwa tidak adanya pengalaman yang dimiliki oleh seseorang dengan suatu objek psikologis cenderung akan membentuk sikap negatif terhadap objek tersebut. Sikap akan lebih mudah terbentuk jika yang dialami seseorang terjadi dalam situasi yang melibatkan faktor emosional. Situasi yang melibatkan emosi akan menghasilkan pengalaman yang lebih mendalam dan lebih lama membekas.
b. Pengaruh orang lain yang dianggap penting
Pada umumnya, individu cenderung untuk memiliki sikap yang konformis atau searah dengan sikap orang yang dianggapnya penting. Kecenderungan ini antara lain dimotivasi oleh keinginan untuk berafiliasi dan keinginan untuk menghindari konflik dengan orang yang dianggap penting tersebut.
c. Pengaruh Kebudayaan
Burrhus Frederic Skinner, seperti yang dikutip Azwar sangat menekankan pengaruh lingkungan (termasuk kebudayaan) dalam membentuk pribadi seseorang. Kepribadian merupakan pola perilaku yang konsisten yang menggambarkan sejarah penguat (reinforcement) yang kita alami (Hergenhan dalam Azwar, 1998). Kebudayaan memberikan corak pengalaman bagi individu dalam suatu masyarakat. Kebudayaan telah menanamkan garis pengarah sikap individu terhadap berbagai masalah.
d. Media Massa
Media massa memberikan pesan-pesan yang sugestif yang mengarahkan opini seseorang. Adanya informasi baru mengenai sesuatu hal memberikan landasan kognitif baru bagi terbentuknya sikap terhadap hal tersebut. Jika cukup kuat, pesan-pesan sugestif akan memberi dasar afektif dalam menilai sesuatu hal sehingga terbentuklah arah sikap tertentu.
e. Faktor Emosional
Suatu bentuk sikap terkadang didasari oleh emosi, yang berfungsi sebagai semacam penyaluran frustrasi atau pengalihan bentuk mekanisme pertahanan ego. Menurut Bimo Walgito (dalam Dayakisni Tri, 2003), pembentukan dan perubahan sikap akan ditentukan oleh dua faktor, yaitu :
1) Faktor internal (individu itu sendiri) yaitu cara individu dalam menanggapi dunia luar dengan selektif sehingga tidak semua yang datang akan diterima atau ditolak.
2) Faktor eksternal yaitu keadaan-keadaan yang ada di luar individu yang merupakan stimulus untuk membentuk atau mengubah sikap.
Berdasarkan uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa pembentukan sikap dipengaruhi oleh faktor ekstrinsik yang berasal dari luar individu dan faktor intrinsik yang berasal dari dalam individu serta sikap disimpulkan dari cara-cara individu bertingkah laku.
B. Sikap Mandiri
Berdasarkan karakteristik sikap, sikap mandiri dapat ditunjukkan dari cara dan perilaku mandiri siswa dalam belajar. Sikap mandiri dalam belajar sangat diperlukan agar peserta didik mempunyai tanggung jawab dalam mengatur dan mendisiplinkan dirinya dalam kegiatan proses pembelajaran, selain itu dalam mengembangkan kemampuan belajar atas kemauan sendiri. Sikap-sikap tersebut perlu dimiliki oleh siswa sebagai peserta didik karena hal tersebut merupakan ciri dari kedewasaan siswa.
Kemandirian adalah kemampuan untuk mengarahkan diri dan mengendalikan diri sendiri dalam berpikir dan bertindak, serta tidak merasa bergantung kepada orang lain secara emosional. Orang yang mandiri mengandalkan dirinya sendiri dalam merencanakan dan membuat keputusan penting. Orang yang mandiri mampu bekerja sendiri, mereka tidak mau bergantung kepada orang lain dalam memenuhi kebutuhan emosional mereka. Kemampuan untuk mandiri bergantung pada tingkat kepercayaan diri dan kekuatan batin seseorang, serta keinginan untuk memenuhi harapan dan kewajiban tanpa diperbudak oleh kedua jenis tuntuan itu (Uno 2005:77).
Kemandirian dalam belajar dapat diartikan sebagai aktivitas belajar dan berlangsungnya lebih didorong oleh kemauan sendiri, pilihan sendiri dan tanggung jawab sendiri dari pembelajar (Dimyati, 1998:51). Siswa dikatakan telah mampu belajar secara mandiri apabila telah mampu melakukan tugas belajar tanpa ketergantungan dengan orang lain. Pada dasarnya kemandirian merupakan perilaku individu yang mampu berinisiatif, mampu mengatasi hambatan/masalah, mempunyai rasa percaya diri dan dapat melakukan sesuatu sendiri tanpa bantun orang lain. Pendapat tersebut diperkuat oleh Kartini dan Dali dalam Mu’tadin (2002:2) yang mengatakan bahwa kemandirian adalah hasrat untuk mengerjakan sesuatu bagi diri sendiri. Kemandirian belajar seseorang sangat tergantung pada pada seberapa jauh seseorang tersebut dapat balajar mandiri. Dalam belajar mandiri siswa akan berusaha sendiri terlebih dahulu untuk mempelajari serta memahami isi pelajaran yang di baca atau dilihatnya melalui media pandang dan dengar. Jika siswa mendapat kesulitan barulah siswa tersebut akan bertanya atau mendiskusikan dengan teman, guru atau pihak lain lain yang sekiranya lebih berkompeten dalam mengatasi kesulitan tersebut. Siswa yang mandiri akan mampu mencari sumber belajar yang dibutuhkan serta harus mempunyai kreativitas inisiatif sendiri dan mampu bekerja sendiri dengan merujuk pada bimbingan yang diperolehnya.
Belajar mandiri dapat diartikan sebagai aktivitas belajar dan berlangsungnya lebih didorong oleh kemauan sendiri, pilihan sendiri dan tanggung jawab sendiri dari pembelajar (Dimyati, 1998:51). Siswa dikatakan telah mampu belajar secara mandiri apabila telah mampu melakukan tugas belajar tanpa ketergantungan dengan orang lain. Pada dasarnya kemandirian merupakan perilaku individu yang mampu berinisiatif, mampu mengatasi hambatan/masalah, mempunyai rasa percaya diri dan dapat melakukan sesuatu sendiri tanpa bantun orang lain. Pendapat tersebut diperkuat oleh Kartini dan Dali dalam Mu’tadin (2002:2) yang mengatakan bahwa kemandirian adalah hasrat untuk mengerjakan sesuatu bagi diri sendiri. Kemandirian belajar seseorang sangat tergantung pada pada seberapa jauh seseorang tersebut dapat balajar mandiri. Dalam belajar mandiri siswa akan berusaha sendiri terlebih dahulu untuk mempelajari serta memahami isi pelajaran yang di baca atau dilihatnya melalui media pandang dan dengar. Jika siswa mendapat kesulitan barulah siswa tersebut akan bertanya atau mendiskusikan dengan teman, guru atau pihak lain lain yang sekiranya lebih berkompeten dalam mengatasi kesulitan tersebut. Siswa yang mandiri akan mampu mencari sumber belajar yang dibutuhkan serta harus mempunyai kreativitas inisiatif sendiri dan mampu bekerja sendiri dengan merujuk pada bimbingan yang diperolehnya.
Berdasarkan beberapa pendapat para ahli dan beberapa pertimbangan di atas, maka belajar mandiri dapat diartikan sebagai usaha individu untuk melakukan kegiatan belajar secara sendirian maupun dengan bantuan orang lain berdasarkan motivasinya sendiri untuk menguasai suatu materi dan atau kompetensi tertentu sehingga dapat digunakannya untuk memecahkan masalah yang dijumpainya di dunia nyata.
1. Faktor yang Mempengaruhi Kemandirian Belajar
a. Faktor dari diri siswa
Menurut Bernadib (dalam Mu’tadin 2002:1) bahwa siswa yang memiliki kemandirian belajar mempunyai kecenderungan tingkah laku sebagai berikut:
1) Memiliki hasrat bersaing untuk maju demi kebaikan dirinya.
Dalam proses belajar mengajar terjadi interaksi antara siswa dengan guru maupun siswa dengan siswa yang lainnya. Setiap siswa yang melibatkan dirinya dalam suatu persaingan yang sehat dan dapat memenangkan persaingan tersebut harus berusaha keras untuk membangkitkan keberanian, semangat juang dan rasa percaya diri yang maksimal.
2) Mampu mengambil keputusan dan inisiatif untuk mengatasi masalah yang dihadapi.
Kemampuan mengambil keputusan dan inisiatif dipengaruhi oleh respon siswa terhadap apa yang ada dan terjadi disekitar untuk dijadikan bahan kajian belajar. Inisiatif sebagai prakarsa yang disertai dengan langkah konkrit selalu ditunggu kehadirannya pada segala macam kepentingan hidup baik ditengah masyarakat maupun disekolah terutama siswa.
3) Memiliki kepercayaan diri dalam mengerjakan tugas-tugasnya.
Siswa yang memiliki kepercayaan diri tidak mudah terpengaruh oleh apa yang dilakukan orang lain (Riyanto, 2002:38). Siswa yang memiliki kemandirian belajar tinggi cenderung memiliki rasa percaya diri, yaitu selalu bersikap tenang dalam mengerjakan tugas-tugas belajar yang diberikan guru dengan memanfaatkan segala potensi atau kemampuan yang dimiliki dan tidak mudah terpengaruh orang lain dalam mengerjakan tugas-tugasnya serta tidak mencontek.
4) Bertanggungjawab terhadap apa yang dilakukannya.
Siswa yang bertanggung jawab adalah siswa yang menyadari hak dan kewajibannya sebagai seorang peserta didik. Tanggung jawab seorang siswa adalah belajar dan mengerjakan setiap tugas yang diberikan oleh guru dengan penuh keikhlasan dan kesadaran, selain itu siswa yang bertanggung jawab adalah yang mampu mempertanggung jawabkan proses belajar berupa nilai dan perubahan tingkah laku.
III. PENUTUP
Pengembangan Pembelajaran PAI Yang Membangun Sikap Mental Peserta Didik Untuk Berprilaku Mandiri yaitu:
1. Sikap mandiri siswa dapat ditafsir dari ketertarikan siswa dalam belajar, kemampuan siswa mengatur diri untuk mencapai cita-citanya, serta kesadaran diri yang tinggi. Sikap mandiri mendorong siswa untuk belajar dengan senang dan belajar secara sungguh-sungguh, yang pada gilirannya akan terbentuk cara belajar siswa yang sistematis, penuh konsentrasi dan dapat menyeleksi kegiatan-kagiatannya.
2. Kemandirian adalah kemampuan untuk mengarahkan diri dan mengendalikan diri sendiri dalam berpikir dan bertindak, serta tidak merasa bergantung kepada orang lain secara emosional.
3. Melalui pembelajaran Pendidikan Agama Islam diharapkan dapat membangun sikap mental peserta didik untuk berprilaku mandiri dalam kehidupan sehari-hari. Oleh karena itu penulis tertarik untuk membahas ini lebih mendalam agar dapat bermanfaat dalam pembelajaran peserta didik di dunia pendidikan.
IV. DAFTAR PUSTAKA
Achmad, Mudlor. Tt. Etika dalam Islam. Al-Ikhlas. Surabaya.
Al-Jazairi, Syekh Abu Bakar. 2003. Mengenal Etika dan Akhlak Islam. Lentera. Jakarta.
Bakry, Oemar. 1981. Akhlak Muslim. Aangkasa. Bandung.
Dayakisni, Tri dan Hudaniah, Psikologi Sosial. Ed. 2, Cet. 2. Malang: UMM Press.2003
Ilyas, Yunahar. 1999. Kuliah Akhlak. Lembaga Pengkajian dan Pengamalan Islam. Yogyakarta.
Masyhur, Kahar. 1986. Meninjau berbagai Ajaran; Budipekerti/Etika dengan Ajaran Islam. Kalam Mulia. Jakarta.
Martin Leman, disiplin anak, 2000.
Undang-Undang No. 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional.
Peraturan Pemerintah Republik Indonesia nomor 55 tahun 2007, Tentang Pendidikan Agama dan Pendidikan Keagamaan
Langganan:
Postingan (Atom)