1. Pengertian dan Tujuan Pendidikan Agama Islam
Pendidikan Islam disini adalah: pertama
ia merupakan suatu upaya atau proses yg dilakukan secara sadar dan terencana
membantu peserta didik melalui pembinaan asuhan bimbingan dan pengembangan
potensi mereka secara optimal agar nanti dapat memahami menghayati dan
mengamalkan ajaran Islam sebagai keyakinan dan pandangan hidup demi keselamatan
di dunia dan akherat. Kedua merupakan usaha yg sistimatis pragmatis dan
metodologis dalam membimbing anak didik atau tiap individu dalam memahami menghayati
dan mengamalkan ajaran Islam secara utuh demi terbentuk kepribadian yg utama
menurut ukuran Islam. Dan ketiga merupakan segala upaya pembinaan dan
pengembangan potensi anak didik utk diarahkan mengikuti jalan yg islami demi
memperoleh keutamaan dan kebahagiaan hidup di dunia dan di akherat.
Pendidikan
Agama Islam dikembangkan dengan menempatkan nilai-nilai agama dan budaya luhur
bangsa sebagai spirit dalam proses pengelolaan dan pembelajaran. Hal ini
ditunjukan antara lain dengan mengintegrasikan wawasan keagamaan pada kurikulum
pendidikan, menciptakan suasana keberagamaan pada kurikulum pendidikan,
mengutamakan keteladanan dalam perilaku dan amalan keagamaan aparat pengelola
dan pendidik, menyediakan dukungan bahan dan sarana pembelajaran seperti kitab
suci, buku referensi keagamaan dan tempat ibadah. Namun demikian, pelaksanaan
kurikulum pendidikan terkadang masih belum sepenuhnya menjadi alat perubahan
nilai budaya masyarakat, tetapi masih lebih mengutamakan mengajarkan
nilai-nilai budaya lama. Peserta didik kurang dibekali dengan realitas yang
berkaitan dengan hakekat hidup dan kehidupan sehari-hari yang dialami di
lingkungan tempat tinggalnya. Peserta didik lebih diarahkan untuk memperoleh
ijazah setinggi-tinggi dan mempersiapkannya untuk menjadi pegawai dalam suatu
instansi dan kurang menstimulus mereka untuk menjadi seorang peserta didik yang
berbudaya, khususnya budaya keberagamaan. Untuk itu kurikulum seharusnya
menjadikan guru dan peserta didik mampu menyadari pentingnya budaya
keberagamaan dalam kehidupanya.
Pendidikan
agama Islam pada berbagai jenjang persekolahan dituntut untuk menyesuaikan dan
mengantisipasi setiap perubahan yang terjadi di masyarakat. Perubahan ini
sebagai akibat dari kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi. Hal ini sesuai
dengan prinsip pengembangan kurikulum yaitu tanggap terhadap perkembangan ilmu
pengetahuan, teknologi dan seni. Kurikulum dikembangkan atas dasar kesadaran
bahwa ilmu pengetahuan, teknologi dan seni yang berkembang secara dinamis.
Semangat dan isi kurikulum memberikan pengalaman belajar peserta didik untuk
mengikuti dan memanfaatkan perkembangan ilmu pengetahuan, teknologi, dan seni,
khususnya dalam pembelajaran.
Pelaksanaan
proses pembelajaran pendidikan agama Islam berorientasi pada penerapan Standar
Nasional Pendidikan. Dalam proses pembelajaran bukan hanya terjadi transfer
ilmu pengetahuan dari guru kepada peserta didik atau dari peserta didik kepada
peserta didik lainnya, namun juga terjadi proses transfer kebudayaan yaitu
terjadinya penanaman nilai-nilai, norma-norma, atau adat kebiasaan. Peserta
didik adalah subjek yang melakukan akulturasi kebudayaan. Peserta didik
mempelajari dan mengamalkan nilai, norma, atau kebiasaan yang ada di
masyarakat. Untuk itu dilakukan kegiatan-kegiatan seperti pengembangan metode
pembelajaran pendidikan agama Islam, pengembangan kultur budaya Islami dalam
proses pembelajaran, dan pengembangan kegiatan-kegiatan kerokhanian Islam dan
ekstrakurikuler. Dalam rangka menindaklanjuti hal tersebut maka dilaksanakan
kegiatan yang langsung melibatkan pelaku utama pendidikan yaitu peserta didik.
Wujud dari
kegiatan ini antara lain diselenggarakannya kegiatan keterampilan dan seni
pendidikan agama Islam. Kegiatan ini sangat penting dalam rangka memberikan
semangat dan gairah baru bagi para pendidik, peserta didik, atau yang memiliki
tugas dan tanggung jawab dalam penyelenggaraan pendidikan di sekolah. Selain
itu juga diharapkan kegiatan ini dapat menumbuhkan budaya keberagamaan
(religious culture) di lingkungan sekolah. Kegiatan-kegiatan ini dimaksudkan
untuk meningkatkan Emotional Quotient (EQ) dan Spiritual Quotient
(SQ) agar semakin kokoh pada para peserta didik di kalangan sekolah/madrasah
yaitu SD-MI, SMP-MTs, SMA-MA dan SMK, mempererat ukhuwah Islamiyah, membawa
persaudaraan, persatuan dan kesatuan bangsa sesama peserta didik
sekolah/madrasah.
Emotional Quotient (EQ) adalah
kecerdasan emosional dan Spiritual Quotient (SQ) adalah kecerdasan
berkaitan dengan keberagamaan (religious), dan ada pula gabungan dari EQ
dan SQ ini yaitu ESQ (Emotional Spiritual Quotient. Daniel Goleman[1]
beranggapan bahwa keberhasilan seseorang di masyarakat sebagian besar sekitar
80% ditentukan oleh kecerdasan emosi dan hanya 20% ditentukan oleh faktor
kecerdasan kognitif (IQ). Intelegent Quotient (IQ) adalah kecerdasan
intelektual atau kecerdasan otak kiri. Kecerdasan otak kiri menekankan pada
peserta didik untuk menguasai kemampuan kognitif atau akademik, seperti
membaca, menulis, berhitung. atau berupa hafalan, sehingga tidak ada apresiasi
dan penghayatan yang dapat menumbuhkan semangat untuk belajar. Keberhasilan
akademik peserta didik diukur dengan nilai angka dan ranking bukan pada proses
belajar. Tujuannya mencetak peserta didik pandai di bidang akademik kognitif,
maka materi pelajaran yang berkaitan dengan otak kiri saja yang diperhatikan
yaitu bahasa dan logis matematik.
Emotional Quotient (EQ) adalah kecerdasan emosional
atau kecerdasan otak kanan. Materi pelajaran yang berkaitan dengan otak kanan
seperti kesenian atau musik. Beberapa aspek emosi-sosial yang menentukan
keberhasilan peserta didik antara lain rasa percaya diri (confidence),
rasa ingin tahu (curiosity), kemampuan mengontrol diri (self control),
kemampuan bekerja sama (cooperation) ataupun mandiri, memiliki sifat
jujur (honesty), bisa dipercaya (amanah), bekerja tepat waktu, mampu dan
cepat menyesuaikan diri dengan orang lain, mempunyai motivasi kuat meningkatkan
kualitas diri, mampu berkomunikasi, mampu menyelesaikan masalah.
Kematangan
emosi-sosial menentukan keberhasilan peserta didik di sekolah, di masyarakat,
dan dalam kehidupannya. Kematangan emosi ditandai antara lain mempunyai rasa
percaya diri, rasa sabar, mematuhi instruksi, dan mampu bekerja sama dengan
kelompok. Peserta didik menjadi sumber daya manusia yang bisa bekerja,
terampil, rajin, tekun, kerja keras dan cerdas, percaya diri dengan kemampuan
sendiri. Kecerdasan emosi memberikan kesempatan kepada peserta didik untuk
berkembang secara alami. Peserta didik dapat mengembangkan fungsi otak kanan,
sehingga akan memudahkan menguasai pelajaran yang diberikan guru. Peserta didik
mengalami proses sosial emotional learning (kecerdasan emosi), joyful
learning (belajar yang menyenangkan), dan active learning (peserta
didik terlibat aktif). Peserta didik sebagai subjek pendidikan bukan hanya
objek. Oleh karena itu sekolah seharusnya memberikan lingkungan yang dapat menumbukan
rasa senang dan gembira kepada peserta didik. Pada diri peserta didik akan
tumbuh rasa cinta untuk belajar, tidak perlu dipaksakan dengan perintah atau
pelajaran terlalu kaku, membebani, dan membosankan, sehingga hasilnya tidak
optimal.
Peserta didik
yang tidak mempunyai bekal kompetensi emosional, spiritual, dan sosial sering
tidak berhasil dalam masa-masa belajar di sekolah. Kehidupannya akan menghadapi
berbagai masalah emosi, perilaku, akademik, dan perkembangan sosial. Mereka
mengalami rendahnya rasa percaya diri dan keingintahuan, ketidakmampuan
mengontol diri, rendahnya motivasi, kegagalan bersosialisasi, ketidakmampuan
bekerja, dan rendahnya rasa empati. Untuk itu, guru perlu memberikan bekal yang
penting bagi peserta didik dengan menciptakan kematangan emosi-sosialnya.
Kematangan
emosi-sosial peserta didik akan dapat berhasil dalam menghadapi segala macam
tantangan. Kematangan emosi sosial pun berpengaruh terhadap kesehatan fisik
peserta didik, yaitu mampu mengendalikan tekanan-tekanan (stress) yang
dialaminya, karena jika tidak dikendalikan akan menimbulkan berbagai penyakit. Perilaku
guru dalam proses pendidikan, pengajaran, atau pola asuhnya yang diterapkannya
di dalam sekolah kepada peserta didik pasti berpengaruh dalam pembentukan
kepribadian peserta didik. Keberhasilan peserta didik mengatasi konflik
kepribadian dalam dirinya sangat menentukan keberhasilan dalam kehidupan sosial
di masyarakat dalam kehidupan sehari-hari. Perilaku itu antara lain kedekatan
emosi (emotional bonding), pemberian atau sentuhan kasih sayang. Untuk
itu proses pendidikan tidak hanya mementingkan kecerdasan otak kiri atau IQ
saja tetapi juga mementingkan kecerdasan otak kanan atau EQ atau kecerdasan
emosional dan Spiritual Quotient (SQ).
Prinsip
Pendidikan Agama Islam adalah interkoneksitas antara ilmu agama, ilmu
pengetahuan, dan teknologi. Untuk itu kurikulum pembelajaran dalam pendidikan
agama Islam lebih banyak mengenai dasar pembentukan intelek dan komunikasi
dengan dunia luar, karena hal ini dianggap sebagai upaya “memanusiakan
manusia.” Manusia dibedakan dari jenis makhluk hidup lain karena ia
mempunyai intelektual. Oleh karenanya upaya memanusiakan manusia dilakukan
dengan mengembangkan inteleknya. Orang berpendidikan dipandang sebagai kaum
intelektual yang termasuk kaum elite. Kelas sosial tertinggi adalah mereka yang
memperoleh pendidikan tinggi; makin rendah tingkatan pendidikan makin rendah
kelas sosialnya.
Tujuan pendidikan adalah memperbaiki intelek
dengan mendisiplin mentalnya. Namun demikian kurikulum sepatutnya tidak
dimaksudkan untuk semata-mata membentuk intelek, tetapi diarahkan agar peserta
didik dapat mempelajari sesuatu yang berhubungan dengan fungsi kehidupan.
Selain itu ada pula budaya yang disampaikan dalam pembelajaran hanya berisi
informasi yang bersifat praktis dan realistis, dengan tujuan mendidik
keterampilan yang esensial dan berguna untuk hidup produktif.
2. Bentuk Kegiatan Menumbuhkan Budaya Keberagaman
(Relegious Culture).
Kegiatan-kegiatan yang dapat
menumbuhkan budaya keberagamaan (religious culture) di lingkungan
sekolah antara lain:
a. Melakukan
kegiatan rutin, yaitu pengembangan kebudayaan keberagamaan secara rutin
berlangsung pada hari-hari belajar biasa di sekolah. Kegiatan rutin ini
dilakukan dalam kegiatan sehari-hari yang terintegrasi dengan kegiatan yang
telah diprogramkan, sehingga tidak memerlukan waktu khusus. Pendidikan agama
merupakan tugas dan tanggung jawab bersama bukan hanya guru agama saja
melainkan juga tugas dan tanggung jawab guru-guru bidang studi lainnya atau
sekolah. Pendidikan agama pun tidak hanya terbatas pada aspek pengetahuan,
tetapi juga meliputi pembentukan sikap, perilaku, dan pengalaman keagamaan.
Untuk itu pembentukan sikap, perilaku, dan pengalaman keagamaan pun tidak hanya
dilakukan oleh guru agama, tetapi perlu didukung oleh guru-guru bidang studi
lainnya.
b. Menciptakan
lingkungan sekolah yang mendukung dan menjadi laboratorium bagi penyampaian
pendidikan agama, sehingga lingkungan dan proses kehidupan semacam ini bagi
para peserta didik benar-benar bisa memberikan pendidikan tentang caranya
belajar beragama. Dalam proses tumbuh kembangnya peserta didik dipengaruhi oleh
lingkungan sekolah, selain lingkungan keluarga dan lingkungan masyarakat.
Suasana lingkungan sekolah dapat menumbuhkan budaya keberagamaan (religious
culture). Sekolah mampu menanamkan sosialisasi dan nilai yang dapat
menciptakan generasi-generasi yang berkualitas dan berkarakter kuat, sehingga
menjadi pelaku-pelaku utama kehidupan di masyarakat. Suasana lingkungan sekolah
ini dapat membimbing peserta didik agar mempunyai akhlak mulia, perilaku jujur,
disiplin dan semangat sehingga akhirnya menjadi dasar untuk meningkatkan
kualitas dirinya.
c. Pendidikan
agama tidak hanya disampaikan secara formal oleh guru agama dengan materi
pelajaran agama dalam suatu proses pembelajaran, namun dapat pula dilakukan di
luar proses pembelajaran dalam kehidupan sehari-hari. Guru bisa memberikan
pendidikan agama secara spontan ketika menghadapi sikap atau perilaku peserta
didik yang tidak sesuai dengan ajaran agama. Manfaat pendidikan secara spontan
ini menjadikan peserta didik langsung mengetahui dan menyadari kesalahan yang
dilakukannya dan langsung pula mampu memperbaikinya. Manfaat lainnya dapat
dijadikan pelajaran atau hikmah oleh peserta didik lainnya, jika perbuatan
salah jangan ditiru, sebaliknya jika ada perbuatan yang baik harus ditiru.
d. Menciptakan
situasi atau keadaan keberagamaan. Tujuannya untuk mengenalkan kepada peserta
didik tentang pengertian agama dan tata cara pelaksanaan agama tersebut dalam
kehidupan sehari-hari. Selain itu juga menunjukkan pengembangan kehidupan
keberagamaan di sekolah yang tergambar dari perilaku sehari-hari dari berbagai
kegiatan yang dilakukan oleh guru dan peserta didik. Oleh karena itu keadaan
atau situasi keagamaan di sekolah yang dapat diciptakan antara lain pengadaan
peralatan peribadatan seperti tempat untuk shalat (masjid atau mushalla),
alat-alat shalat seperti sarung, peci, mukena, sajadah atau pengadaan Al Quran.
Selain itu di ruangan kelas bisa pula ditempelkan kaligrafi, sehingga peserta
didik dibiasakan selalu melihat sesuatu yang baik. Selain itu dengan
menciptakan suasana kehidupan keagamaan di sekolah antara sesama guru, guru
dengan peserta didik, atau peserta didik dengan peserta didik lainnya. Misalnya,
dengan mengucapkan kata-kata yang baik ketika bertemu atau berpisah, mengawali
dan mengakhiri suatu kegiatan, mengajukan pendapatan atau pertanyaan dengan
cara yang baik, sopan, santun tidak merendahkan peserta didik lainnya, dan
sebagainya.
e. Memberikan
kesempatan kepada peserta didik sekolah/madrasah untuk mengekspresikan diri,
menumbuhkan bakat, minat dan kreativitas pendidikan agama Islam dalam
keterampilan dan seni, seperti membaca Al Quran, adzan, sari tilawah, serta
untuk mendorong peserta didik sekolah mencintai kitab suci, dan meningkatkan
minat peserta didik untuk membaca, menulis serta mempelajari isi kandungan Al
Quran. Dalam membahas suatu materi pelajaran agar lebih jelas guru hendaknya
selalu diperkuat oleh nas-nas keagamaan yang sesuai berlandaskan pada Al Quran
dan Hadits Rasulullah saw. Tidak hanya ketika mengajar saja tetapi dalam setiap
kesempatan guru harus mengembangkan kesadaran beragama dan menanamkan jiwa
keberagamaan yang benar. Guru memperhatikan minat keberagaman peserta didik. Untuk
itu guru harus mampu menciptakan dan memanfaatkan suasana keberagamaan dengan
menciptakan suasana dalam peribadatan seperti shalat, puasa dan lain-lain.
f. Menyelenggarakan
berbagai macam perlombaan seperti cerdas cermat untuk melatih dan membiasakan
keberanian, kecepatan, dan ketepatan menyampaikan pengetahuan dan mempraktekkan
materi pendidikan agama Islam. Mengadakan perlombaan adalah sesuatu yang sangat
menyenangkan bagi peserta didik, membantu peserta didik dalam melakukan
kegiatan-kegiatan yang bermanfaat, menambah wawasan dan membantu mengembangkan
kecerdasan serta menambahkan rasa kecintaan. Perlombaan bermanfaat sangat besar
bagi peserta didik berupa pendalaman pelajaran yang akan membantu mereka untuk
mendapatkan hasil belajar secara maksimal. Perlombaan dapat membantu para
pendidik dalam mengisi waktu kekosongan waktu peserta didik dengan sesuatu yang
bermanfaat bagi mereka dan pekelahian pelajar dapat dihindarkan. Dari
perlombaan ini memberikan kreativitas kepada peserta didik dengan menanamkan rasa
percaya diri pada mereka agar mempermudah bagi peserta didik untuk memberikan
pengarahan yang dapat mengembangkan kreativitasnya. Nilai-nilai yang terkandung
dalam perlombaan itu antara lain adanya nilai pendidikan di mana peserta didik
mendapatkan pengetahuan, nilai sosial, yaitu peserta didik bersosialisasi atau
bergaul dengan yang lainnya, nilai akhlak yaitu dapat membedakan yang benar dan
yang salah, seperti adil, jujur, amanah, jiwa sportif, mandiri. Selain itu ada
nilai kreativitas dapat mengekspresikan kemampuan kreativitasnya dengan cara
mencoba sesuatu yang ada dalam pikirannya. Salah satu contoh perlombaan adalah
lomba berpidato. Peserta didik diberikan kesempatan berpidato untuk melatih dan
mengembangkan keberanian berkomunikasi secara lisan dengan menggunakan teks
atau tanpa teks menyampaikan pesan-pesan Islami. Menjadi ahli pidato yang
efektif menuntut para peserta didik mengembangkan kemampuannya untuk
berkomunikasi secara efektif dan penuh percaya diri, serta mampu merumuskan dan
mengkomunikasikan pendapat dan gagasan di berbagai kesempatan dan keadaan.
Peserta didik diharapkan mampu mendakwahkan ajaran agama dengan benar, tidak
sebaliknya berpidato atau berkomunikasi yang merendahkan agama.
g. Diselenggarakannya
aktivitas seni, seperti seni suara, seni musik, seni tari, atau seni kriya.
Seni adalah sesuatu yang berarti dan relevan dalam kehidupan. Seni menentukan
kepekaan peserta didik dalam memberikan ekspresi dan tanggapan dalam kehidupan.
Seni memberikan kesempatan kepada peserta didik untuk mengetahui atau menilai
kemampuan akademis, sosial, emosional, budaya, moral dan kemampuan pribadinya
lainnya untuk pengembangan spiritual rokhaninya. Untuk itu pendidikan seni
perlu direncanakan dengan baik agar menjadi pengalaman kreatif yang jelas tujuannya.
Melalui pendidikan seni, peserta didik memperoleh pengalaman berharga bagi
dirinya, mengekspresikan sesuatu tentang dirinya dengan jujur dan tidak
dibuat-buat. Untuk itu, guru harus mampu menyadarkan peserta didik untuk
menemukan ekspresi dirinya.
Melalui pendidikan seni peserta didik dilatih untuk mengembangkan bakat,
kreatifitas, kemampuan, dan keterampilan yang dapat ditransfer pada kehidupan.
Melalui seni para peserta didik akan memperoleh pengalaman dan siap untuk
memahami dirinya sendiri secara mandiri. Peserta didik yang mandiri mampu
memahami gaya belajar mereka sendiri, disiplin dalam belajar bukan karena
tekanan pihak lain, sehingga mereka mampu mengkenali, mengidentifikasi dan
memahami kekuatan dan kelemahan kemampuannya mengembangkan bakat dan minatnya.
Selain itu juga untuk menghadapi
berbagai tantangan, baik dalam belajar maupun dalam kehidupan yang dijalaninya
sehari-hari. Peserta didik dikondisikan agar mampu mengkomunikasikan apa yang
dilihat, didengar, diketahui, atau dirasakannya. Peserta didik mampu membuat
dan mengembangkan perasaan, imajinasi, dan gagasan secara ekspresif agar
menjadi hidup yang berguna bagi pengembangan diri. Pembelajaran seni di sekolah
memiliki kontribusi dalam sikap belajar seumur hidup (life long learning).
Selama waktu belajar di sekolah atau di
luar waktu belajar, peserta didik diharapkan selalu melakukan aktivitas seni
untuk mengembangkan pengetahuan, sikap, dan keterampilannya. Oleh karena itu,
kurikulum pendidikan seni pada dasarnya dirancang untuk membantu peserta didik
untuk belajar seumur hidup dengan memiliki pengetahuan, pemahaman, pemikiran,
atau komunikasi yang efektif. Melalui pelajaran seni di sekolah, para peserta
didik dilibatkan untuk menciptakan dan mengekspresikan gagasan dan perasaan dalam
bentuk ucapan, tulisan, pendengaran atau gerakannya.
Salah satu bidang seni yang diselenggarakan
adalah seni nasyid. Nasyid adalah seni vocal yang kadang-kadang dilengkapi
dengan alat music. Tujuan nasyid antara lain untuk melatih dan mengembangkan keberanian,
penjiwaan, keindahan, keserasian dan kemampuan mengaransemen seni modern yang
islami. Nasyid mengembangkan kemampuan untuk berfikir dan mengeksresikan diri
dalam bentuk vokal atau bunyi-bunyian alat-alat musik. Peserta didik belajar
untuk menginterpretasikan atau mengekspresikan emosi atau jiwa spiritual di
dalam bernyanyi atau bermusik. Dengan bernyanyi atau bermusik peserta didik
mendapatkan kepuasan lahir dan bathinnya sehingga menjadi landasan yang baik
untuk meningkatkan semangat belajarnya. Nasyid biasanya berisikan lagu-lagu atau
syair syair manis berupa pujian yang menyenangkan perasaan atau hati.
Nasyid ini dapat dijadikan cara yang cukup efektif untuk membantu peserta didik
dalam memahami berbagai persoalan, seperti tentang kehidupan, rasa cinta kepada
sesama manusia atau kepada Tuhan Yang Maha Esa, dan sebagainya. Nasyid dengan
menggunakan bahasa dan intonasi yang mudah dipahami mempunyai pengaruh yang
baik bagi pertumbuhan jiwa dan bahasa peserta didik. Apalagi kalau disertai dengan
gerakan-gerakan yang mudah untuk dilakukan. Serasinya antara suara dengan
gerakan atau antara lagu/syair-syair dengan gerakan-gerakan yang mengikutinya
dapat menyenangkan perasaan dan menenangkan hati peserta didik.
3. Budaya
Keberagamaan dengan Kecakapan Hidup
Pembelajaran yang menekankan pada kebudayaan
keber- agamaan bisa dilakukan dengan menerapkan pendekatan kecakapan hidup (life
skill). Manfaat atau dampak yang positif kecakapan hidup bagi peserta didik
antara lain dalam kecakapan personal yang diperoleh peserta didik dapat
menumbuhkan keimanan dan ketaqwaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa sebagai pondasi
dalam membentuk dan mengembangkan akhlak mulia, rasa percaya diri, kemandirian,
harga diri, dan kasih sayang kepada orang lain.
Bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, yaitu
berkaitan keyakinan terhadap agama atau kepercayaan, pengabdian dan ketaqwaan
terhadap Tuhan Yang Maha Esa. Tuhan yang menciptakan semua makhluk hidup dan
alam semesta. Peserta didik pun diarahkan agar menjadi manusia yang memiliki akhlak
mulia, yaitu memiliki atau menunjukkan ciri-ciri karakter akhlak mulia, seperti
kejujuran, kesalehan, kesabaran, keberanian, kedermawanan, atau kehormatan,
kasih sayang, hormat, toleran, pemberi maaf, rendah hati, dan baik hati.
Kurikulum dikembangkan berdasarkan prinsip
bahwa peserta didik memiliki posisi sentral untuk mengembangkan kompetensinya
agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa,
berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri dan menjadi warga
negara yang demokratis serta bertanggung jawab. Untuk mendukung pencapaian
tujuan tersebut pengembangan kompetensi peserta didik disesuaikan dengan
potensi, perkembangan, kebutuhan, dan kepentingan peserta didik serta tuntutan
lingkungan. Memiliki posisi sentral berarti kegiatan pembelajaran berpusat pada
peserta didik.[2]